Buaya Muncul di Panakkukang?

Sumber ilustrasi: http://news.nationalgeographic.com/2016/05/nile-crocodiles-florida-reptiles-science/

AWALNYA, saya tidak mau telan mentah-mentah kabar yang dibawa teman saya, Zainal Siko, awal November 2016 lalu, tentang penampakan seekor buaya di sungai sekitaran rumahnya di Jalan Sukaria. Di bagian timur permukiman bekas rawa-rawa itu mengalir Sungai Sinrejala, sungai yang sama melintas di belakang rumah saya.

Ketidakpercayaan saya karena tak lihat dengan mata kepala sendiri. Makassar pun pernah macet teramat parah sepuluhan tahun lalu gara-gara warga berdesakan di Jembatan Sungai Tello, Jalan Perintis Kemerdekaan, mau melihat penampakan buaya putih. Kerumunan bubar dengan masing-masing orang membawa cerita “katanya”. Mungkin juga lantaran ‘trauma’ masa kecil saya keseringan dibohongi penjual obat kalau “buayanya sudah mau keluar”, tapi sampai pertunjukan selesai tak ada seujung kuku pun yang menyembul dari peti.

“Hati-hati,” kata Enal, “awasi anak-anak. Apalagi kamar Isobel (anak saya) ada di belakang,” lanjutnya mewanti-wanti. Enal menggetarkan bahunya yang langsing. Ia bergidik.

Memang benar kata Enal. Beberapa anak-anak biasa main bersama di beberapa tempat yang tak pernah jauh dari sungai itu: kamar anak saya, di lahan berisi beberapa tanaman yang membatasi rumah saya dan sungai, atau di salah satu dari deretan rumah yang jaraknya tak lebih dari lima meter dari pinggir kali tersebut.

Jarak rumah saya di sekitar Kompleks Panakkukang Indah di selatan dan Enal di utara paling jauh satu setengah kilometer. Enal bilang bahwa, kata orang, buaya itu tampak naik ke bantaran sungai, tepat di bawah jembatan di sekitar simpang tiga jalan yang menghubungkan Jl. Prof Abdurahman Basalamah (dulu Jalan Racing Center) ke arah Jalan Pettarani.

Berita yang sama tiba lagi di telinga saya sebulan kemudian. Kali ini, di awal Desember 2016, kabar itu datang langsung dari mulut tetangga samping rumah saya. Seraya mengumpulkan kayu untuk masak air, perempuan yang biasa saya sapa “Mama Raihan” itu mengaku melihat penampakan buaya.

“Saya lihat tadi di sana,” katanya, seraya menunjuk ke seberang sungai. Di sana tampak semak merimbun, sebatang pohon nipah dewasa, dan bokong rumah tak berpintu yang membelakangi sungai.
Sungai Sinrejala yang mengalir di belakang Kantor Lurah Pandang. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)
Ketika menghuni kawasan ini pertama kali tahun 2008, beberapa orang selalu menyebut bahwa itu bukan sungai, melainkan kanal. Kanal itu buatan manusia, sedang sungai dibentuk oleh alam. Saya selalu protes karena penanda seperti pandan dan nipah tumbuh subur di sekitarnya. Bahkan nama kelurahan tempat saya bermukim pun bernama Kelurahan Pandang (saya juga punya yakin bahwa ini penyebutan keliru ‘pandan’ di lidah orang Bugis dan Makassar). Kepercayaan saya bahwa ‘kanal itu sebenarnya sungai’ kian tebal setelah mendapati banyak cangkang kerang dan siput, tatkala menggali lahan kosong belakang rumah untuk menanam atau menimbun.

Enal belakangan menguatkan anggapan saya tentang ‘sungai, bukan kanal’. Menurut informasi yang dikumpulkannya dari beberapa orang-orang tua, sungai selebar 10-15 meter itu bernama Sinrejala. Dalam bahasa Makassar, sebutan itu bermakna “jala robek”. Enal mengatakan, “Orang-orang tua bilang, dulunya kalau orang menangkap ikan di sana, jala mereka sering dirobek buaya.” Konon, kawasan sekitar Jalan Sukamaju, Sukamulia, dan Jalan Sukaria dulunya bernama Binanga Toayya (sungai tua/purba).

Nama Sinrejala juga nama kelurahan. Penanda yang termasuk wilayah kelurahan ini termasuk separuh jembatan layang (flyover) di utara, Jalan Suka Damai di selatan, Jalan Karantina di barat, dan ujung timur pagar Universitas Bosowa. Di sinilah kemudian Sungai Sinrejala mengalir melewati jembatan, bergabung, lalu membesar menuju muara di Tallo.

Setelah mendengar kabar penampakan buaya yang dibawa Enal, saya tentu tetap waspada. Saya memasang indera lebih awas setiap melangkah ke tanah belakang rumah untuk membersihkan sampah daun yang berserakan. Cerita Enal juga dikuatkan dengan pengalaman saya. Beberapa kali melihat biawak menyingkir panik karena kehadiran saya (maksud saya, buaya dan biawak itu satu habitat dan miriplah). Satu waktu juga saya menyaksikan kadal berburu ayam di bagian seberang yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon. Sekitar tiga tahunan sebelumnya istri saya juga bersaksi melihat telur kadal/biawak terlindung rimbunnya rumput di lahan belakang rumah yang beberapa bulan tak sempat disiangi. Sejak itu, rumput tak pernah saya biarkan lagi tumbuh di sana dan menggantinya tanaman jangka panjang.


CERITA tentang buaya di Makassar sudah beberapa kali saya dengar. Tapi cukup berbeda yang saya dengar langsung dari orang-orang dekat tadi. Cerita-cerita sebelumnya bercampur mitos.

Pertama, peristiwa pertengahan dekade 2000 di Jembatan Sungai Tallo yang menghubungkan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Perintis Kemerdekaan, yang saya ceritakan tadi di awal tulisan. Kedua, saya dengar dari beberapa penghuni Pulau Lakkang, kawasan yang dikelilingi Sungai Pampang dan Sungai Tallo, sekisar empat tahun lalu. Di bagian timur pulau itu, ada kawasan karrasa’ (keramat). Konon, wujudnya gunung di bawah sungai, tempat bersemayam penguasa dunia air.

Cerita mitos semacam itu banyak muncul di masyarakat dengan lingkup hidup berdampingan dengan sungai. Penghidupan warga Lakkang umumnya berbasis perikanan. Hamparan tambak akan menyambut begitu turun dari perahu yang mengantar ke pulau yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Tallo ini. Warga juga membuat petak-petak berdinding jala untuk membiakkan udang di aliran Sungai Tallo.

Jamak juga kita dengar tentang cerita kembar buaya di daerah lain di Sulawesi Selatan, sebab wilayah ini punya banyak sungai. Kita kenal baik nama-nama sungai itu, di antaranya yang besar-besar adalah Sungai Sa’dan, Sungai Walennae, atau Sungai Cerekang. Namun berdasarkan tulisan saya (2011), mitos manusia kembar buaya menyimbolkan bahwa alam dan manusia tidak dapat dipisahkan layaknya saudara kembar. Keduanya merupakan unsur alam yang harus saling mendukung.

Tapi cerita berkaitan buaya tidak melulu terhubung ke dunia mitos. Ada juga yang masuk akal bagi saya, seperti kabar empat tahun lalu dari seorang warga Lakkang, Abdul Haris, menceritakan penampakan buaya, seperti yang diceritakan Enal. Kata dia, bila ada warga yang mengaku sempat melihat kemunculan buaya di sekitar pulau itu, mereka segera menuju rumah, memperbaiki jala atau alat tangkap lainnya. Dengan itu, mereka berangkat ke tempat ‘bertemu buaya’ itu. “Ada satu orang yang katanya pernah ke sana dan dapat ikan banyak,” ungkap lelaki yang sehari-harinya sebagai nelayan.


KEMBALI ke buaya yang muncul di sungai belakang rumah, saya sudah bilang sejak awal: saya gentar. Saya tidak bisa membayangkan berapa kali kecepatan debaran jantung saya bila sampai harus berhadapan dengan binatang yang menyandang gelar “satwa dengan gigitan terkuat di dunia” ini.

Namun di sisi lain, saya juga sebenarnya berpikir bahwa itu adalah berita gembira tentang kualitas lingkungan hidup sungai ini. Berbekal pelajaran semasa SMP tentang rantai makanan, saya hanya merasa bahwa kemunculan buaya, bisa jadi, berarti rantai makanan di sungai tersebut masih stabil (meski ada juga versi yang mengatakan itu adalah akibat intrusi air laut). Itu berarti buruannya masih tersedia di situ. Dengan rantai makanan yang utuh, sistem pengurai alami di sekitar kita jelas masih tersedia. Peluang pulihnya kualitas lingkungan hidup kota lebih besar.

Dengan kabar dari Enal dan tetangga saya, saya sih berharap tidak ada orang yang akan mencoba mengusik sungai itu, semisal membangun lebih mendekat ke sungai, atau warga akan membiarkan pohon dan tumbuhan sekitar sungai tetap hidup. Jadi, para penghuni sekitar sungai seperti ikan, buaya, sampai tikus biarlah tetap di situ (agar tidak mengerat di rumah-rumah).

Biarlah sungai itu menampung dan menyalurkan air sebanyak-banyaknya agar kota ini terbebas banjir. Tentu kita tahu, kota yang mengandalkan pembangunan fisik, akan menutup banyak bukaan tanah dan mengurangi daerah resapan air.

Ya, semoga juga tampakan Sungai Sinrejala tidak akan lagi membuat kita sedih. Di musim kemarau, sungai ini benar-benar bikin galau. Airnya hitam dan berbau. Aromanya bisa menembus sampai meja makan saya. Kadang pula saya mau menikmati sore yang berjalan sangat pelan di belakang rumah, tapi pemandangan romantis awan jingga yang memantul di permukaannya jadi rusak karena sampah dalam kantong plastik atau karung sering terlihat mengapung menuju ke utara, arah Sungai Tallo. Belum lagi kalau melintas juga enceng gondong yang tingginya separuh orang dewasa (kian besar ukuran enceng, berarti makin banyak kandungan limbah air tersebut), begitu siklus air pasang berlangsung.

Di musim hujan, ia seperti dewa penolong. Air limpasan dari berbagai tempat di Makassar, bisa dialirkannya ke utara dengan cepat. Bahkan rumah saya pernah kebanjiran empat tahun lalu justru bukan dari air yang merembes dari sungai, melainkan dari genangan di kompleks depan rumah saya.

Semoga, bila buaya-buaya di Sungai Sinrejala memang benar ada, biarlah mereka berkembang biak. Biarkan mereka merayap atau berenang menyebar populasinya ke sungai-sungai lain yang makin kurus di kota ini. Semoga dengan begitu, lingkungan hidup Makassar lebih stabil dan menyehat.

Tak maukah Anda menikmati hidup di kota dengan warna penuh hijau pepohonan dan air sungai yang lebih bening dari sekarang?[]

Komentar

Postingan Populer