Satu Tahun Kebingungan

Sebuah persoalan bermula pada suatu pagi di pertengahan tahun 2014. Perihal yang menguras pikiran ini justru terjadi ketika saya bangun pagi dengan gembira. Pagi itu, matahari bersinar lembut ke kulit dan udara paling segar dalam hidup saya sebulanan terakhir, menjelma awal hari yang membingungkan selama setahunan berikutnya.

Isobel di hari pertama sekolah. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

INI BERMULA dari rencana menyekolahkan Isobel, anak gadis saya. Juni 2014 usianya masuk lima tahun. Kala ia masih berumur empat tahun kami pun sudah dicecar oleh tetangga dan keluarga dengan pertanyaan yang seragam, “Sudah sekolah?” atau “Kenapa belum sekolah?”.

Begitu Isobel memasuki usia lima tahunan, saya dan Piyo (istri saya) mencoba membawa ia ke taman kanak-kanak terdekat dari rumah kami. Kami lakukan itu lantaran mulai merasa tak enak mengurungnya terus menerus di dalam pagar; hal sadar yang kami lakukan karena teramat kuatir membebaskannya keluar pagar. Betapa mengerikan laju kendaraan-kendaraan dari dan ke dalam kompleks tempat kami. Beberapa kali terjadi tabrakan kendaraan di situ karena ada belokan tajam. Apalagi, meski tidak cukup sering, beberapa anak di sekitar kami juga biasanya masuk ke halaman karena datang membaca buku yang tersedia di serambi.

Kami juga terjepit di antara hal ideal dan kenyataan di luar sana. Saya dan Piyo sempat mengobrolkan mengapa kami harus menggiring Isobel ke TK. Padahal, sejak dua tahun sebelumnya, kami bertekad keras untuk membiarkan gadis cilik ini dididik homeschooling, cara bersekolah yang berbeda dibanding sistem pendidikan umum dan swasta di Indonesia, yakni di lingkungan rumahan atau komunitas dengan bimbingan dari orangtua langsung. Kami percaya, metode ini juga lebih “memerdekakan” anak dengan membiarkan mereka meminta ajar apa yang mereka butuhkan atau inginkan; bukan paket kurikulum ketat dari guru yang diarahkan dari jauh (Pemerintah Pusat). Kami seratus persen yakin, anak seusia Isobel hanya butuh bermain.

Tapi pertimbangan lain kami, membiarkan Isobel bermain sendiri hanya akan menjebaknya ke kehidupan soliter, tidak mampu berempati kepada sesamanya. Ia butuh belajar berteman dan berkawan—sesuatu yang mungkin tidak banyak tersedia di dalam kelas, melainkan di luar kelas. Pertimbangan itu juga diperkuat oleh kabar yang sampai ke kami bahwa sekolah-sekolah dasar sekarang mengharuskan ada ijazah TK.

Maka kami bawalah Isobel menuju TK di satu pagi yang cerah. Ada mendung di langit timur. Taman kanak-kanak itu hanya tiga ratusan meter dari rumah kami. Pukul setengah sembilan lewat, Isobel terlambat. Murid TK berbaris dan meniru gerakan senam yang diperagakan seorang guru berjilbab. Tapi kami masuk saja.

Isobel segera bergabung, langsung ikut meniru gerakan. Seperti biasa, ia nyaris tak punya rasa sungkan secuil pun bila berada di lingkungan baru. Kata beberapa kawan saya, mungkin karena Isobel terbiasa berhadapan (sambil bermain) dengan orang-orang (hampir semuanya dewasa) yang datang ke Kampung Buku, perpustakaan yang sekaligus menjadi rumah kami. Bahkan bila ada orang baru, sedang saya masih suntuk di meja kerja dan Piyo sibuk di dapur, Isobel justru yang menerima tamu. Ia mengajari sang tamu untuk “angkat sebelah kiri” pintu pagar biar mudah terbuka, mengajak “masuk, masuk!”, menanyakan tujuan kedatangan si tamu, sampai tergopoh-gopoh memberi tahu “Ada orang mau beli buku” atau “ada temannya Papi”. Atau kalau yang datang adalah kawan saya yang sudah dikenalnya, Isobel melapor bahwa “Om A datang” atau “Tante B di luar, Pi!”

Yang membuat saya tertawa lebar pagi itu adalah begitu Isobel merasa senang dengan pengalaman barunya. Sambil ikut gerakan senam, ia tiba-tiba berbalik ke belakang ke arah kami, tersenyum dan mengirimkan tanda senang ala masyarakat metal: mengepal dengan jari telunjuk dan kelingking berdiri.

Bahasa tubuh semacam itu banyak diserap Isobel dari kalangan om dan tante yang biasa datang ke Kampung Buku. Tentu saja lebih banyak dari kami. Acara televisi sudah lama kami jauhkan dari dia. Bahkan dengan sengaja, kami terpaksa menyambung tivi kabel demi memberinya keleluasaan menikmati film-film kartun dan menghindarkannya dari godaan iklan yang maha perayu.

Lagu yang kami bolehkan ia dengar pun sangat kami pilih dan kurasi, seperti lagu “Desaku yang kucinta”, “Naik-naik ... ke Puncak Gunung”, sampai “Memandang alam dari atas bukit...”. Lagu anak-anak paling baru adalah album Tasya, Libur telah Tiba, yang dirilis 14 tahun silam. Ada juga beberapa lagu ‘penting’ yang harus diketahuinya seperti Isobel, karya Bjork yang menjadi sumber inspirasi dari mana namanya berasal atau “Jungle Drum”-nya Emiliana Torrini sekadar mengenalkan referensi bunyi-bunyian, atau beberapa lagu kesukaan Piyo berketukan cepat yang menular ke Isobel (lantaran waktu mereka lebih lama ketimbang saya). Belakangan ia tergoda menyanyikan lagu-lagu versi Indonesia soundtrack anime, seperti Dragon Ball, Doraemon, Detective Conan, Hamtaro, P-Man, Saint Seiya, Chibi Maruko-chan, dan sejenisnya—yang mudah ditemukan via Youtube. Ia ketularan kesukaan sesuatu yang kami nikmati kala belia dulu, masa pertumbuhan tahun dekade 1990.

Meski kami cukup hati-hati “membentuk” seleranya sebagaimana yang kami pikirkan tentang anak seusianya, tapi ada saja yang bisa menembus barikade. Lagu iklan sosis sampai lagu hits yang keliru dinyanyikannya macam “sakitnya tuh di jantung, di dalam hati ini...” tetap saja lolos dari pantauan karena merasuk lewat pergaulannya dengan tetangga sepantaran.
Isobel (keempat dari kiri) saat bertugas dalam upacara di TK Ceria. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)
KAMI sadar bahwa semua upaya kami di rumah adalah harapan-harapan yang dibentuk untuk dibawa keluar dari pintu pagar dan disodorkan ke kehidupan sosial. Di TK dekat rumah itu kami mengamati bagaimana Isobel merespons sesuatu yang bernama sekolah. Tapi yang jauh lebih penting bagi kami adalah bagaimana sekolah dan perangkat-perangkatnya menghadapi bocah seperti Isobel. 

Sebagaimana yang kita tahu, jenjang usia kanak-kanak adalah titik berangkat penting. Dunia dan perkembangan seorang anak, kami percaya, sebagai bekal dan cerminan bagaimana ia di masa depan.

Beruntung bahwa perkenalan Isobel dengan TK itu memiliki momentum. Kami melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana perlakuan guru bisa sangat diskriminatif pada murid. Pada hari kedatangan kami, lomba mewarnai akan digelar. Beberapa piala sudah bertengger di meja. Iming-iming untuk pemenang itu adalah barang-barang yang disediakan sponsor sebuah produk multivitamin untuk anak-anak.

Kami tentu berbohong bila tak cemas melihat itu. Obat-obatan kimia sudah lama kami jauhkan dari kehidupan kami sehari-hari. Belum lama memang kami lakukan (itu pun setelah membaca beberapa sumber). Bahkan tiga empat jenis masih berdiam di dalam kulkas, sekadar berjaga-jaga dari kemungkinan yang belum kami tahu bentuknya.

Seorang pria memandu pengarahan lomba. Lelaki itu agaknya pihak pemasaran dari produk itu—bukan guru pria sebagaimana dugaan awal saya. Begitu kertas bergambar yang akan diwarnai dibagikan ke murid, Isobel mengacungkan tangannya dan menyeru bahwa ia belum dapat kertas.

“Kamu tidak dapat kertas karena belum bayar,” tanggap Si Guru.

Kami terkejut. Betapa kejam rasanya kalimat itu. Intonasi bicara Si Guru terdengar bagai jawaban dingin dari seorang tokoh jahat dari seri sinetron.

Tapi tampaknya lomba ini mewajibkan murid membayar agar bisa mendapat paket baju dan sebotol nutrisi butiran plus kertas dan pewarna untuk lomba. Kami sadar bahwa Isobel memang tidak berhak mendapat kertas. Tapi kami iba menyaksikan Isobel hanya berdiri memandangi sekelilingnya yang mulai sibuk mewarnai.

Kami segera datangi Si Guru dan memohon dengan setengah berbisik untuk memberinya kertas. Harapannya dia segera bisa menyatu dengan suasana di sana. Si Guru berbaik hati. Segera saja kertas dan alat pewarna pindah ke tangan Isobel. Tapi kemudian pewarnaan yang baru separuh itu ditinggalkan Isobel. Ia berlari ke areal permainan. Sendirian ia pergi bermain. Belakangan satu dua bocah dari lomba bergabung dengannya.

Sepulang dari sekolah itu, saya dan Piyo mengobrolkan soal itu. Betapa sekolah bagi kami belum berubah, yakni administrasi (pembayaran sekolah, dll) jauh lebih penting ketimbang bagaimana memperlakukan anak. Hal-hal serupa yang pernah kami alami pada 1980-an dan 1990-an masih terjadi sampai sekarang.

Hari itu, kami pulang dan sepakat: kami belum siap menyekolahkan Isobel.

SETAHUNAN berlalu. Kakek Isobel juga mulai menanyakan soal sekolah Isobel. Tapi itu bisa dengan cepat kami alihkan ke hal-hal seperti “Isobel sudah bisa naik sepeda tanpa roda bantu”. Kalau sudah begitu, Isobel seperti biasa segera menyambung cerita tentang itu.

Tapi diam-diam, kami juga cemas soal pergaulan Isobel. Selama enam tahun, waktu bermainnya lebih sering dengan orang dewasa. Sisi baiknya, ia lebih artikulatif dan percaya diri. Sisi negatifnya, kami khawatir soal perkembangannya berempati dan menyelesaikan hal-hal antar-sebaya.

Usai liburan kami di sebuah kampung di Toraja, saya membonceng Isobel menuju sebuah TK yang juga tak jauh dari rumah. Sekolah itu berdepanan dengan Universitas Fajar. Tapi, sekali lagi, kami urung sekolahkan Isobel di situ. Uang tahunan yang tertera di lembaran formulir tak kurang Rp 8 juta koma sekian per tahun. Ini angka yang memompa banyak darah ke jantung dan membuat tabungan bisa ringsek!

Uang sebanyak itu, kata seorang teman, lebih mahal dari SPP pendidikan magisternya. Adik ipar saya bilang, biaya sebesar itu beda tipis dengan yang dikeluarkannya untuk menyekolahkan anaknya di sebuah taman kanak-kanak yang terkenal mahal dan “bermerek dagang” dari Jakarta.

ISOBEL baru bertemu dengan “jodoh” sekolahnya, yakni TK Ceria, Jalan Adhyaksa, di Kompleks PAUDNI. Ini adalah sekolah ketiga yang saya datangi selama setahun terakhir. Sebenarnya, “jodoh” sekolah Isobel tak lain jodoh kami juga. Harapan dan, katakanlah, hal-hal ideal kami bagaimana pendidikan, pergaulan, dan perihal yang kami pikirkan bisa diterapkan di TK ini.

Informasi TK Ceria saya peroleh dari Yayu, pemilik Kedai Pojok. Yayu menyekolahkan anak lelakinya yang berumur lima tahun, Kiran, di sana setahun sebelumnya. Ibu dua anak ini mengingat (meski samar) bahwa uang tahunan TK Ceria sekisar Rp 3 juta. Singkat cerita, Isobel langsung bergabung di hari ia didaftar jadi murid di sana.

Saya berjanji dan berusaha keras mengantar Isobel setiap pagi. Ini banyak membantu saya, terutama soal jadwal bangun. Pekerjaan (dan kebiasaan) saya yang nyaris selalu menghabiskan waktu kerja lebih banyak di malam hari membuat saya kerap bangun lambat.

Rupanya bangun pagi saya terbayar. Taman kanak-kanak bagi saya tempat paling lucu di dunia kala pagi hari. Ini kesan saya setelah hari ketiga Isobel masuk sekolah. Tepat di hari Senin awal Agustus 2015, saya mengantarnya ke sekolah sebelum jam 08.00. Bel berbunyi beberapa saat setelah kami tiba. Sebagaimana yang saya duga, ada upacara—sebagaimana dulunya kami alami.

Para bocah berbaris. Saya melihat Isobel berdiri di belakang; terlihat jangkung di tengah temannya. Seorang guru menawari ke murid siapa yang bersedia menjadi petugas upacara. Mata saya beralih ke telepon karena pesan masuk. Beberapa saat kemudian, bak sulapan, Isobel sudah pindah tempat. Ia kini berdiri bersama dua orang teman barunya di depan barisan siswa berbentuk “U”. Ketiganya memegang secarik kertas berlaminasi (berlapis plastik transparan). Beberapa waktu kemudian, Isobel dengan pelantang di bibirnya menyeru, meniru ejaan gurunya, “Menyanyikan lagu Indonesia Raya dipimpin oleh teman kita ...”

Saya tertawa kecil. Wah, saya curiga Isobel mengambil kesempatan ini. Saya kenal ia “banci mic” sejak lama. Kala berumur dua atau tiga tahunan, terutama di beberapa kegiatan di Kampung Buku, mic merupakan alat yang menyita perhatian anak ini. Dugaan saya sampai sekarang, perangkat itu mempesonanya karena suara bisa terdengar nyaring.

Lalu “Indonesia Raya” pun melantun dari bibir-bibir puluhan kanak-kanak di TK Ceria. Tapi suara Isobel lagi-lagi terdengar lebih keras. Rupanya, pelantang itu masih di dekat bibirnya. Seorang guru segera menjauhkan mic.

Tapi bukan hanya Isobel yang menarik perhatian saya. Kelucuan juga terjadi di barisan belakang. Seorang bocah laki-laki berdandan beda dibanding lainnya. Gaya rambutnya model terbaru. Bagian sampingnya dicukur pendek dan diukir dengan garis yang agak artistik (mengingatkan model rambut pemain sepakbola). Di bagian belakang, rambut si anak berpostur sedang itu dibiarkan panjang bak ekor kuda. Beberapa temannya berbalik dan menoleh ke arahnya begitu upacaranya hampir selesai. “Kenapa begini rambutmu?” Mungkin dia murid baru.

Di luar barisan, beberapa anak datang terlambat. Banyak dari mereka tak sudi ditinggalkan (atau belum siap bersekolah?). Yang menarik bagi saya, mereka yang cemberut dan merengek itu adalah anak laki-laki; berbeda dengan bocah perempuan  yang lebih tenang.

Tapi sekolah ini, “jodoh” untuk Isobel, tentu mungkin bakal ada kekurangan-kekurangan. Tiga hari pertama masa sekolahnya ia (dan sekali lagi, tentu saja, kami) sudah mengalami benturan-benturan, seperti kekerasan antar-anak yang terjadi di hari yang sama, tak lama setelah ritual upacara yang saya ceritakan sebelumnya.

Isobel pulang mengadu perihal seorang temannya yang memukulkan kayu ke kaki dan pipinya. Ada lebam yang samar di bawah lutut kanannya. Berdasarkan tuturan Isobel, gurunya sempat menegur si pelaku, “Jangan pukul teman, nak, berdosa loh”. Tapi bagi saya, teguran itu hanya mengekang anak ke dalam norma agama. Padahal anak butuh tahu bagaimana cara menyelesaikan persoalan di antara mereka sendiri; antara manusia dan manusia.

Sangat besar persoalan pemukulan ini bagi kami. Soalnya adalah di lingkungan keluarga, Isobel kami tak ajari menyelesaikan masalah dengan memukul, mencubit, dan semacamnya. Hanya satu dua kali pernah ia kena pukul. Itu pun hanya untuk mengenalkan bagaimana rasa sakit bila ia memukul orang lain.

Semoga sekolah Isobel sekarang bisa menampung harapan kami sebagai orangtuanya. Semoga pagi selalu menyenangkan bagi orang tua dan, terutama, bagi perkembangan anak-anak. Semoga pagi juga menjadi waktu yang sehat untuk menumbuhkan banyak hal yang menunggu mekar. Terakhir, semoga waktu belajar dan bermain Isobel di TK menjadi pagi yang teramat berharga untuk dilewatkan bagi orang yang kurang tidur seperti saya.[]

Catatan: Tulisan lanjutan terkait ini: Mendayung di Antara Dua Generasi

Komentar

  1. Wah.....Proses pendewasaan buat semua lewat tulisan nih

    BalasHapus
  2. Disimpan sebagai bekal untuk babyjo kelak :)

    BalasHapus
  3. Aah, bantji mic.

    Aah. Sekolah.

    Aah. Bobol :')

    BalasHapus
  4. Seperti biasa, tulisan Papi Bobel keren ...

    Hai Bobel. Lama ndak ketemu.
    Selamat bersosialisasi dengan dunia luar :))

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer