Yang Berani Deg-degan

Catatan tentang perkembangan seni fotografi di Makassar, juga beberapa hal yang berkaitan dengan itu.

Muhammad Indra Gunawan sekali waktu di tengah istirahatnya mempersiapkan pameran foto Panggung dalam Bingkai di Kampung Buku 20-21 Februari lalu mengatakan, “Dumba’-dumba’ka’—Saya deg-degan!” seraya menyelipkan senyum lebar dan suara tawa yang kemudian terdengar tertahan.

Kenapa ia berdebar-debar? Sebab pertama adalah, tampaknya, pameran foto itu eksebisi yang ia persiapkan cenderung singkat dan terburu-buru. Hanya sekisar 12 hari. Kedua, alasan yang paling penting, orang-orang jelas bisa meragukan soal-soal teknis fotografi Igun, nama panggilan akrab Indra Gunawan, dan Reza Pahlevi Daud atau Echa.
Echa (kiri) dan Igun (pegang mic). [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Igun dan Echa menganggap foto-foto yang akan mereka pamerkan berbeda dengan pameran yang selama ini pernah mereka dengar kabarnya atau sempat keduanya saksikan. Karya mereka adalah foto aksi di atas panggung musik. Selama dua tiga tahun terakhir kedua pemuda ini mengkhususkan diri mengabadikan momen-momen dalam pentas musik di beberapa tempat di Indonesia. Keduanya pemuda Makassar. Mereka sama-sama aktif di Stage ID, nama perkumpulan fotografer yang bekerja di sekitaran panggung musik yang berdiri Agustus 2011 lalu. Igun giat di Stage ID Bali karena masih kuliah di sana sejak 2009, sedang Echa aktif bersama beberapa rekannya di Stage ID Makassar.

Mungkin degub jantung tak karuan Igun sebagai hal wajar, sebagaimana kebanyakan terjadi pada seseorang yang kali pertama melaksanakan sesuatu yang benar-benar asing. Tapi Igun, seperti juga Echa, kadung menggeluti bahkan mencintai dunia jepret-jepretan itu. Dorongan untuk mengunjukkan karya mereka pun makin kuat.

Bisa jadi akan ada yang akan bilang pameran itu adalah pameran “anak bawang”. Tapi begitulah cara mereka merespons perkembangan dunia fotografi kian melesat jauh. Justru rasanya kita penting bertanya-tanya bila peristiwa seni seperti pameran jarang berlangsung di tengah kemungkinan yang tidak terbatas sementara teknologi fotografi kian terjangkau oleh daya beli warga. Fitur fotografi kini tersedia bukan dalam bentuk kamera semata, melainkan menjadi “paket-wajib” dan tersedia di dalam komputer jinjing sampai telepon seluler. Wajar saja bila, “Makassar tercatat sebagai kota nomor tiga di Indonesia yang paling rajin meng-upload foto di media sosial,” kata Fachrul Rahman, kurator Panggung dalam Bingkai, dalam sesi bincang di hari pertama pameran.

Pameran ini sekaligus menjadi catatan awal perkembangan ranah fotografi mutakhir di Makassar. Dunia fotografi Makassar sebenarnya cukup mengesankan. Soal foto jurnalistik, beberapa nama dengan kiprah yang menggaung nasional dan internasional bisa kita sebut, seperti Armin Hari, Maman Sukirman, dan Yusuf Ahmad. Sedang Rahmat Takbir, yang kini sibuk bekerja di Papua, memenangi medali emas dalam satu kategori dalam kompetisi Salon Photo Indonesia 2011 lalu di Makassar. Saya tak ingat tahun berapa nama-nama tadi berpameran, kecuali dalam pameran foto di Galeri Antara pada 22 Desember 2013 lalu, sekaligus rangkaian peresmian galeri tersebut.

Bagaimana denyut pameran fotografi sebagai seni rupa? Boleh dikata masih berpulsa kecil. Menggunakan fotografi sebagai alat ungkap dan ruang 'bermain' dalam seni masih sepi. Contoh jelas terlihat pada pameran Recharge di Rumata'artspace awal 2013 lalu yang menampilkan karya hasil jepretan kamera lubang jarum menjadi salah satu jenis karya seni rupa dipamerkan, bersanding dengan karya lukis, komik, dll.

Bukan cuma denyutnya yang redup. Pencatatan peristiwa seni fotografi pun hanya ditulis dan diabadikan sebagai berita biasa—sebagai “apa yang berlangsung”; tidak menekankan pada “mengapa dan bagaimana peristiwa itu menjadi penting” bagi perkembangan dunia fotografi di kota ini.

Kemandekan itu agaknya bisa disiasati dengan menggelar pameran di tingkat komunitas. Satu dua kali terdengar bahwa berlangsung gelaran pameran di lingkungan kampus. Meski patut disayangkan gaungnya pun kecil karena penikmatnya terkesan hanya ‘dibatasi’ untuk kalangan kampus saja--seperti ingin menegaskan kampus dan khalayak umum memanglah dua dunia yang berbeda dan terpisah.

Di sinilah letak bagaimana pentingnya sebuah komunitas, tempat membesarkan individu yang bergerak di dunia fotografi dan cara berekspresi lain. Komunitas bukan hanya sebagai ajang ‘uji coba’ dan memperkenalkan diri ke khalayak berkaitan dengan dunia yang tengah mereka geluti. Di ranah komunitaslah juga kita bisa membaca perkembangan apa yang berlangsung di Kota Makassar. Daya dukung dan bekerja saling membantu menjadi kemutlakan di tengah energi pusaran Makassar yang memusatkan hidup dan perhatian para pengambil keputusannya melulu pada ekonomi dan politik.
Tabasco Band bawakan lagu-lagunya untuk pengunjung pameran.
 Malam sebelumnya pengunjung dihibur oleh Theory of Discounstic. [Foto: Anwar Jimpe Rachman] 
Eksebisi ini sekaligus menunjukkan bukan hanya tentang dunia fotografi. Pameran ini hendak memberi kabar kepada kita bahwa industri musik di kota ini tengah mengalami perkembangan. Berdasarkan penuturan Andi Muhammad Ikhlas atau Iko, industri musik di Makassar baru berkembang sekisar tiga empat tahun terakhir. Terakhir yang tercatat adalah Rock in Celebes (sudah empat tahun berturut). Kebutuhan fotografer untuk pagelaran menjadi mutlak. “Dulu EO (event organizer) mengandalkan teman-teman wartawan untuk membantu pendokumentasian, sekarang sudah jelas siapa yang akan kita mintai bantuan kalau ada event,” tambah Iko.

Tampaknya pameran “Panggung dalam Bingkai” melengkapi catatan manis bermulanya lagi peristiwa seni fotografi sekaligus geliat seni rupa generasi baru di Makassar. Kendati karya-karya Igun dan Echa dalam pameran kali ini sebagian besar masih bergaya poster karena belum menunjukkan pada kita detail lain di sekitar panggung seperti pernik sound, kru, dan perangkat lainnya, tapi jelas ini awal baik bagi sepantaran mereka. Mereka menampakkan geliat dari generasi yang lebih berani mencoba. Denyut generasi yang berani deg-degan.[]

Komentar

Postingan Populer