Skena Musik Makassar Sebelum Tahun 2000

Fenomena skena musik Makassar sampai pertengahan 2013, berbeda dibanding perkembangan pada beberapa tahun sebelumnya. Tampak grup musik pada era sekisar satu dasawarsa itu sulit keluar dari keterbatasan akses referensi maupun yang berkaitan teknologi.

Mari membagi masa perkembangan band-band independen Makassar dalam dua tahap: pra-2000 dan pasca-2000. Pemilahan kurun waktu ini karena dunia musik mengalami sentuhan perkembangan hebat teknologi. Masa itu masa ketika panel-panel studio rekaman tersedia dalam program komputer dan merebaknya MP3 ikut meruntuhkan kerajaan rekaman dunia (lebih lanjut baca di sini: Kaset Ini Aku Pinjam...)

Sebelum tahun 2000, Makassar hanya ada tiga studio musik tempat berlatih awak band, yakni Studio N’Dels di Jalan Andalas, sebuah studio di Jalan Kelinci, dan belakangan pada 1998 berdiri Studio 52 di Jalan Cakalang. Di studio itu pula Ade Cakra pernah menjadi kru.

Ade Cakra, mahasiswa Sastra Inggris Unhas angkatan 1990-an, sempat mengecimpungi dunia tata suara karena bekerja di Studio 52. Dua dari pendiri studio itu, Novia Satria (Pon) dan Mufaddal, adalah seniornya di kampus. “Saya ingat kalau rekaman orang di sana, kita pakai kaset tipe 2, yang bisa sampai empat track. Kalau salah masih bisa ditimpa. Dulu harga kaset yang begitu sudah puluhan ribu. Tidak tahu (berapa harganya) sekarang!” katanya.

Ada perbedaan jelas antara musikalitas band-band Makassar era sebelum dan sesudah tahun 2000. Pada pra-2000, menurut Ade, musikalitas mereka terbilang tak seberagam karya-karya band sekarang.

“Mungkin karena sumber-sumber referensi musik mereka terbatas dan tidak vatiatif. Ini juga berkaitan dengan teknologi. Tapi kelihatannya ini membuat mereka bekerja keras dan mengasah skill (keterampilan bermusik). Sekarang sumber dan referensi musik nyaris tidak terbatas karena teknologi yang berkembang membuka kemungkinan kita menikmati banyak lagu. Teknologi rekaman juga bikin kita bisa ‘akali’ hasil rekaman,” ujar Ade, 9 Juni lalu. Sebagai catatan, beberapa studio bermunculan di Makassar era pasca-2000, antara lain Amira Studio di Jalan Baji Gau (Komp. Perwira); GeEs Studio di Jalan Landak Baru; Coockoo Studio di Jalan Tinumbu. Ada juga studio yang dipakai oleh pemiliknya sendiri, seperti De Keizer Studio di Jalan Mappanyukki, Legend Studio, atau studio milik Pak Raymond Rehatta, yang yg biasa dipakai artis-artis.

Itu diamini Arsan Jaya, mantan basis Big Mania. Ia mengakui bahwa keterbatasan referensi memang terasa benar peralihan 1980an-1990-an, tahun ketika band semisal Zebras, S70, JPL Big Band, Biefee, Krudut, sampai Leaders mengemuka. Kaset-kaset diperoleh di luar Makassar, seperti Bandung. Sedang majalah musik, biasanya dibeli di luar negeri.

“Ya, mengakses begituan tidak ada cara lain selain bergaul. Teman-teman kita yang sempat ke luar negeri biasanya beli, seperti Erlan dan Arsam (anak Yansi Rait, walikota Makassar kala itu),” kenang Cacang, panggilan akrab Arsan Jaya.

“Masa sebelum ada studio 52, N’dels jadi tempat berkumpul musisi senior dan junior. Kalau sudah berkumpul bisa terjadi tukar ide dan skill karena yang punya juga musisi senior seperti Accung—punya band namanya N’dels Band. Itu masa band-band nyaris utopis untuk membuat album,” kenang Ade Cakra.
Sampul album Hotdogs pertama. [Foto: Yamin]
Nyaris utopis? Mungkin iya. Tapi beberapa hal pernah terjadi mewarnai catatan sejarah musik di Makasar. Dengan dana sendiri, Big Mania rupanya sempat membuat album yang dijuduli “Masa Kecil”, meski Cacang tak ingat lagi tahun berapa kaset itu mereka rekam. Di Studio N’dels pula dua band pelopor punk di Makassar, The Hotdogs dan Sexpunk, merekam album mereka dengan semangat independen (DIY, Do It Yourself). Ada pula Pipedt Band yang beraliran grunge sempat membuat mini album. “Tahun 1997 pernah membawa kaset mini album kami ke Radio Madama dan ditolak mentah-mentah karena menurut mereka kualitas rekamannya jelek!” terang Yamin, drummer Pipedt, yang kini berada di bekerja di industri perbankan di Papua.

Bisa album jarang masa itu karena karena produksinya mahal. Di luar dari itu semua, kata Ade, kendati memiliki keterampilan bermusik di atas rata-rata karena matang di panggung festival, mereka banyak yang ke Jakarta untuk mengejar mimpi membuat album. “Tapi sambil ‘menunggu giliran’, mereka main di kafe-kafe untuk kebutuhan hidup selama di sana. Tapi main di kafe ‘kan bikin terlena. Jam biologis dan kehidupan sosial juga berubah karena jam manggung ‘kan malam sampai dini hari,” terang Ade.

Cacang menceritakan, pembicaraan membuat album memang menjadi topik obrolan para musikus awal 1990-an. Pengalaman Cacang sama. Pada 1992, ia keluar dari bandnya, Krudut. Cacang dan rekan satu bandnya mulai sadar bahwa tidak mungkin lagi hanya bermain di atas panggung. Padahal, menjadi bintang tamu dalam festival tingkat Sulawesi Selatan, “Honor Rp 50.000 sekali tampil itu besar zaman itu!” seru Cacang. 

Banyak di antaranya yang memang memutuskan untuk berangkat ke Jakarta karena target membuat album. Tapi bagi Cacang—panggilan akrab Arsan, dari Makassar pun bisa. “Saya pikir waktu itu di Makassar sudah setengah jadi. Karena sudah ada skill dan beberapa band sudah membawa demo album mereka. Tinggal meng-connect-kan dengan industri,” ujar Cacang, menjelaskan argumennya masa itu. 

Cacang setia pada apa yang ia katakan. Ketika beberapa teman seangkatannya main band berangkat ke Jakarta untuk mengejar pembuatan album, Accang justru bergeming di Makassar. Bersama dua temannya, Abi dan Accung, ia mendirikan Studio N’Dels di Jalan Andalas pada 1993. 

“Sebenarnya N’dels itu hampir tidak jadi. Karena saya duluan sepakat dengan Pak Untung [investor] untuk membangun Studio 52 di Jalan Cakalang. Tapi sebulan setelah kami sepakat, Pak Untung meninggal. Saya duduk dulu dan ambil napas terus berpikir, bagaimana rencana setelah ini,” kenang Cacang. Studio 52 baru berdiri lima tahun kemudian. Komitmen Pak Untung dilanjutkan oleh anaknya, Pon, seorang pemuda yang sejak lama bergaul dengan para awak band Makassar. 

Demi membuktikan dukungannya terhadap skena Makassar, ketika masih mengelola N’dels, Accang dan kedua rekannya menerapkan tarif murah Rp 6.000 per jam—masa ketika sewa studio musik di Makassar masih berkisar Rp 15.000 – Rp 25.000/jam.

Agaknya harga dan komitmen itu seperti telah ditebus. Harapan Cacang beberapa tahun silam kini menampakkan geliat. Sampai pertengahan 2013, empat band Makassar sudah dan siap melepas album. Dan sudah saatnya pula bagi Ade, Accang, saya, dan Anda yang membaca tulisan ini bertanya-tanya, “Siapa lagi (band Makassar) yang akan meluncurkan album setelah ini?”[]

Catatan: Terima kasih untuk Yamin atas kiriman dokumentasi foto album The Hotdogs.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer