Titik-titik yang Berjauhan di Wakatobi

Gugusan gunung karst di Maros dan Pangkep. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
PESAWAT Wings Air JT 1330 berangkat dari Makassar ke Kendari pukul 08.15 Wita. Langit cerah dan awan jarang sepanjang jalan menuju ibukota Sulawesi Tenggara [Sultra], terutama di atas Sulawesi Selatan. Deretan pegunungan batu gamping (karst) di Maros dan Pangkep tampak jelas seperti karang hijau.

Dua kawan yang saya temani dalam perjalanan ini, Kamaruddin Azis dan Mansyur Rahim. Kami tiba sejam kemudian di Bandar Udara Haluoleo, Kendari. Hanya 15 menit transit di sana, berlanjut ke Wakatobi.

Samar dari jendela pesawat berpenumpang 70-an orang ini tampak putih gugusan karang di pinggiran pulau yang bersebaran di perairan Laut Banda yang membiru gelap.

Pukul 09.40 Wings Air mendarat. Lagu “Gong” ciptaan Sigur Ros menyertai pendaratan saya ke kepulauan asing ini.

Dari balik jendela pesawat yang berhenti tampak deretan beberapa pejabat, anggota militer, dan polisi berbaris. Siapa gerangan tamu yang mereka siap sambut? Rupanya, di antara penumpang 70-an orang tadi, kata seorang pegawai bandara, ada deputi menteri.

“Begitu kalau bulan April sampai Juni, banyak tamu yang datang ke daerah untuk melobi,” kata Denun, panggilan akrab saya kepada Kamaruddin Azis.


Saya pun turun dari tangga pesawat, menjejakkan kaki di Bandara Matahora, di bawah matahari yang bersinar cerah di langit Wakatobi.

INILAH Wakatobi, kepanjangan dari Wangiwangi-Kaledupa-Tomia-Binongko, empat pulau batu kapur terbesar di tenggara Sultra. Kabupaten kepulauan yang berisi 39 pulau ini, kemungkinan berada di sekitaran Papua pada masa Miosen, 24 juta tahun lampau—bila merujuk pada National Geography Mei 2013. Pergerakan dan tumbukan lempeng bumi Eurasia-Indo-Australia-Lempeng Pasifik membentuk kawanan pulau besar Sulawesi dan sekitarnya sebagaimana yang kita saksikan sekarang. 

Wakatobi amat terkenal. Di sana ada Taman Nasional Wakatobi, disebut-sebut salah satu gugusan karang terindah di dunia. UNESCO menyebutnya kawasan cagar biosfer dunia. Ada 750 jenis karang di kawasan itu dari total 850 jenis karang di dunia. 

Pulau yang kami darati adalah Pulau Wangiwangi. Ini salah satu pulau di Kepulauan Tukang Besi, nama lama dalam lembar peta Indonesia jika mencari Wakatobi. Nama itu sebenarnya merujuk ke Pulau Binongko yang terkenal sebagai penempa besi ulung. Konon, parang yang dihunus Pattimura dalam uang seribu rupiah kita itu buatan pandai besi dari sana.

Cerita ini juga saya dengar dari banyak warga setempat yang saya temani bercakap. Sampai dalam satu kesempatan ke Pasar Sentral Wangiwangi, saya mendapati pedagang-pedagang setempat menggelar dagangan, termasuk parang dan pisau. Bentuknya memang serupa dengan parang yang dihunus Kapitan Pattimura.
Pelabuhan Pangulu Belo dari kejauhan. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Konon, nama lama kepulauan ini adalah Pulau Tuluka Besi, pengindonesiaan “Tukang Besi”. Tuluka Besi adalah julukan bagi para pandai besi yang ada dalam kubu laskar Pattimura. Dalam satu hikayat disebut bahwa nama itu melekat ke Binongko lantaran para pengikut Pattimura yang tertangkap dan diangkut ke satu kapal Belanda yang berlayar ke luar Maluku. Lantaran terhadang ombak besar, para tuluka besi diturunkan di pulau itu. Belakang mereka menetap dan beranak-pinak.
Parang buatan Binongko. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Cerita dan lisanan yang beredar menyebut, kalangan tuluka besi ini beserta keturunannya dianugerahi keterampilan dan keahlian mengolah besi. “Bahkan, kata orang, kalau mereka mau bertani, menanam apa pun mereka pasti tidak akan tumbuh,” kata seorang warga, Rusman.

Keahlian mereka terkenal. Lagi-lagi, cerita yang beredar di Wakatobi, mereka sebenarnya tidak menempa besi kala membuat parang. “Mereka itu hanya pakai tangan. Pakai ini!” seru Rusman, seraya menggepitkan telunjuk dan jari tengah.

Nama Pulau Wangiwangi, yang sering disebut Pulau Wanci, masih terkait dengan hikayat kapal Belanda yang berisi tawanan dari pengikut Pattimura. Ketika kapal tersebut melanjutkan perjalanan, sesampai di sekitar Pulau Wanci, lagi-lagi, mereka terhadang ombak besar. Kapal itu pun berlabuh seraya menurunkan bawaan termasuk rempah-rempah. Dari rempah-rempah itu menyebar aroma harum ke sekitaran pulau yang bernama Wangiwangi. 

Ada juga cerita lain yang berkaitan aroma, bahwa nama Wangiwangi muncul lantaran di pulau itu tumbuh empat pohon wangi. “Tidak tahu pohon dan jenisnya apa,” tanggap Rusman.

WAKATOBI adalah kabupaten yang berpisah sembilan tahun lalu dari Kabupaten Buton. Tapi sejarah tetaplah sejarah. Jejak Kesultanan Buton masih kental di sini. Bagi Rusman, sejatinya orang Wakatobi masihlah orang Buton. “Mungkin sekali orang Wolio [Buton] yang dikirim ke sini karena pulau-pulau [Wakatobi] ini adalah pertahanan garis depan Kesultanan,” kata Rusman.

Bukti pertahanan itu ada pada Benteng Liya. Benteng berdinding batu karang itu berada di bagian timur Wangiwangi. Bentuknya mengingatkan saya dengan Benteng Wolio di Buton. Nama ‘Liya’ berarti ‘gua’. Konon, benteng itu berada di atas gua, sumber air warga sekitar.

Karena provinsi ini kepulauan, beberapa istilah digunakan untuk menunjukkan asal seseorang, yaitu ‘orang Tanah Besar’ untuk Buton, ‘orang Daratan’ bagi Kendari, dan ‘orang Kepulauan’ yang berarti orang-orang dari Wakatobi dan sekitarnya.

Orientasi laut memang tampak jelas dalam kehidupan masyarakat Wangiwangi. Perpindahan manusia, barang, dan jasa sejak lama mengandalkan kendaraan laut. Di sini terdapat lima pelabuhan: Pelabuhan Wanci, Pangulu Belo, Pelabuhan Jabal, Pelabuhan Mola, dan pelabuhan feri.

Di Pangulu Belo, kapal besar milik Pelni mendapat gelar dari warga sebagai “kapal setan”. “Itu karena jadwalnya tidak jelas. Kadang jadwal datangnya jam 10, eh datangnya tengah malam jam 12,” ujar warga lainnya, Samaru, terbahak. 

Pesisir Wangiwangi layaknya pelabuhan. Warga menambatkan perahu mereka di halaman belakang mereka, dari ukuran kecil sampai yang besar. Salah seorang pengusaha, Haji Arhawi, belakangan menjadi wakil bupati Wakatobi, memiliki empat kapal besi. Dari ketinggian, akan tampak pula kapal Pelni yang membelah Pulau Buton dan Pulau Wangiwangi. Jalur bagian barat Wangiwangi ini menjadi jalur bagi kapal besar menuju Surabaya, Makassar, dan Ambon.

Di halaman belakang rumah warga Wangiwangi akan kita pula dapati kolam-kolam budidaya ikan. Kolam itu berdinding batu karang, batu terbanyak di pulau ini. Mereka memelihara ikan dalam petak kolam seperti empang. Menurut seorang staf Bappeda Wakatobi, Yasin, kolam itu digali lebih dalam dari permukaan air laut. “Biar airnya tidak kering kalau air sedang surut,” katanya.
Kolam di belakang rumah warga. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Pulau ini pernah diterjang tsunami sekisar tahun 1990-an. Gelombang itu efek dari gempa di Pulau Kalimutu. Sam menuturkan, tinggi air kala itu mencapai setinggi pohon kelapa. Tidak lama kemudian air laut surut sampai kering beberapa meter dari pantai lalu naik. Begitu seterusnya.

Sumber air menjadi salah satu hal besar dalam kehidupan masyarakat Wangiwangi. Pulau yang mereka huni adalah nusa paling rendah dibandingkan tiga pulau lainnya. Puncak tertinggi di bagian utara Pulau Wangiwangi hanya sekira 150 meter.

Sam mengatakan, warga menggali sumur mengikuti permukaan air laut. Jika musim kemarau memanjang maka sumber air sumur akan menjadi payau. Bila demikian, warga akan membeli air dari warga yang menjual air. “Mereka biasa lewat-lewat di jalan. Mereka dapatnya dari mata air di atas,” ujar Sam, seraya menunjuk ke arah utara.

KEPULAUAN INI terkenal karena kawasan Taman Nasional bawah laut Wakatobi. Dibanding dengan dengan Taka Bone Rate, Selayar, yang mencakup Taka Bone Rate saja, luasan Wakatobi meliputi keempat pulau terbesar. Tidaklah mengherankan bila pulau seperti Wangiwangi yang berpenghuni terbesar tetap bersih dan terjaga. Pantainya ‘kotor’ hanya karena banyaknya lumut yang menjadi rumah bagi ikan-ikan. Berbeda dengan kantor pengawasan Taka Bone Rate yang adanya di Benteng, ibukota Selayar, berjarak sekisar 8 jam perjalanan.

Maraknya berita dan beragam kegiatan yang berlangsung di Wakatobi menarik wisatawan. Upaya Pemerintah Wakatobi pun tidak tanggung-tanggung mengundang orang ke kabupaten baru ini. Konon, pesawat yang berangkat ke sana disubsidi oleh Pemkab Wakatobi bila ada kursi yang kosong. Dengan begitu, jadwal pesawat ke Wakatobi selalu rutin. Harga tiket pun tetap [flat]. 

Pada 2012 lalu, menurut seorang pejabat setempat, sekurangnya 16 ribu wisatawan mancanegara mengunjungi ke sana. Turis lokal belum ada angka resmi, kendati pengelola komunitas wisata Waha, Sudirman, mengatakan selalu menyetor angka kunjungan ke dinas terkait. 

Angka 16 ribu pengunjung bagi pejabat tadi masih kecil. “Kalau saja transportasi memadai, mungkin bisa lebih. Ini saingan sama Bali. Bali sekarang sudah kotor,” ujar si pejabat.

Saya pikir, jika Wakatobi mengutamakan pendapatan dari pemasukan dari wisata, apakah tidak terbuka pula kemungkinan apa yang berlangsung di Pulau Dewata terjadi pula di sana? Entahlah…

YANG KITA TAHU bersama: pelabuhan dan bandar udara adalah pintu kedatangan; benteng sebagai simbol pertahanan. Di Wangiwangi, keduanya terletak di titik yang berlainan: Pelabuhan Wanci di selatan, Bandara Matahora di tengah, dan Benteng Liya berdiri menjaga di timur. Sayangnya, benteng batu karang yang tegak di perbukitan itu kini hanya menghadap ke teluk-teluk yang sepi, jauh dari pintu-pintu kedatangan.[]

Komentar

Postingan Populer