Di Kalasan, Kiamat Dibatalkan!

Bersua dengan orang-orang yang mencintai sesuatu selalu memberi semangat hidup berlipat ganda pada kita, yang terasa memicu ‘kelahiran’ baru. Perihal itu juga yang membuat sekelompok kesenian bertahan hingga sekarang.

Di belakang panggung ketoprak tobong “Bhakti Kelana Budaya”, Yogyakarta, sejumlah orang berkumpul di balai bambu. Pertemuan itu berpenerang bohlam. Asap rokok membungkus cahayanya yang cenderung temaram. Seorang lelaki setengah baya berbaju dan bertopi hitam memimpin pertemuan. Lima belasan orang ikut musyawarah. Rapat itu rupanya membincangkan lakon yang akan mereka bawakan sebentar lagi.

Kelompok “Bhakti Kelana Budaya” setiap pukul 21.00 - 01.00 WIB saban Rabu malam dan Sabtu malam berpentas di kawasan Kalasan, Yogyakarta, sekitaran daerah Lapangan Udara Adi Sutjipto. Tak ada naskah di depan mereka. Hanya garis besar jalan cerita yang mereka catat masing-masing. Sebagian lain tampak tidak menulis. Mungkin mengandalkan ingatan saja. Pada Sabtu malam pekan kedua Desember 2012 itu, para pelakon akan membawakan “Sosro Kusumo Mbalelo”, cerita pemberontakan seorang adipati.


Klowok. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Belum selesai pertemuan, seorang krunya bernama Klowok mengajak saya ke biliknya di bagian kiri belakang panggung. Begitu menyibak pintu tirai kain, dengan harus terbungkuk, saya bergerak ke dalam bilik berdinding gedhek selebar dua meteran milik Klowok. Tampak kompor dan wajan di sudut pembilasan di bagian kiri pintu, berdekatan dengan tempayan. Hanya selangkah dari situ ada helm dan televisi 14 inci di samping ranjang. Di atas tv bertengger satu mahkota, perlengkapan pementasan.

Oh! Rupanya ada orang lagi. Perempuan. Ia duduk di ranjang. Sudah berdandan. Matanya sudah bercelak. Bedak pun sudah mantap di kulit pipi dan wajahnya. Saya menyalami seorang perempuan langsing berambut berombak. Namanya Ibu Nanik.

“Saya pengasuh Klowok, Lik,” jawab Ibu Nanik. ‘Lik’ adalah panggilan karib kepada laki-laki lebih muda, yang berarti ‘Nak’.

Ibu Nanik perempuan Yogyakarta mengaku sudah berusia enam puluh tahun—usia di luar dari dugaan saya yang tampak lebih muda sepuluhan tahun. Klowok pemuda gondrong sepunggung dari Jawa Timur, yang mengaku sejak kecil ikut dalam kelompok kesenian sejenis ini. Klowok meminta izin pada saya. Mau mengerjakan persiapan pementasan, katanya.
Salah satu sudut belakang panggung. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Ibu Nanik punya tiga anak. Sudah besar semua. Yang sulung bernama Iketi Subarsih, seorang penari yang pernah berguru di Padepokan Bagong Kussudiarjo. Iketi kini bermukim di Swiss lantaran ikut suaminya.

“Saya ini hanya suka seni. Saya ikut ketoprak untuk mengasah rasa saya. Dia itu (Iketi) yang seniman karena bisa menciptakan tarian. Dia sering mendapat undangan dari Kedutaan Indonesia di Swiss untuk menari,” jelas Bu Nanik, yang mulai bermain ketoprak pada 1969 silam.
Keadaan dalam bilik pemain ketoprak tobong. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Memang bukan ketoprak yang menghidupi orang seperti Bu Nanik. Justru sebaliknya. Bu Nanik menghabiskan setidaknya Rp100.000 – Rp150.000 untuk pergi-pulang dan makan dalam semalam pementasan. Bu Nanik tampaknya hidup berkecukupan. Iketi pernah mengiriminya uang untuk membeli mobil. Tapi itu lalu ia pakai membangun kos-kosan. Perhiasan emas juga menghiasi pergelangan tangan dan jari-jarinya.

“Aku ndak apa-apa tombok terus asal nyenengke (menghibur) orang banyak,” sergah Bu Nanik, tertawa.
Lukisan dalam bilik. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Pendapatan dari bermain ketoprak tak bisa lagi diandalkan. Setiap pemain bisa cuma mendapat honor Rp5.000 setiap kali main. Penonton kian meninggalkan ketoprak. Malam itu, hanya setengah deretan kursi besi yang terisi. Serbuan sajian hiburan televisi menjadi satu sebab, menurut Tempo edisi 9 April 2006. Sedang biaya operasionalnya cenderung tetap. Untuk setiap kali main, Kelana Bhakti Budaya harus mengeluarkan biaya pembeli solar untuk mesin diesel tenaga listrik penerang sepanjang malam.

Kendati tergeser oleh televisi, menurut sastrawan Yanusa Nugroho [TempoApril 2006] menyebut lakon-lakon seperti Anglingdarma, materi tayangan yang pernah digandrungi lewat  layar kaca, justru 'digodok' dan dipentaskan awal di panggung-panggung ketoprak.

Wajar kiranya jika kemudian Ibu Nanik dengan setengah berbisik menjelaskan bahwa menjadi pengasuh Klowok hanya sebagai bentuk tanggungjawabnya sebagai seniman agar pemuda seperti Klowok tidak ‘lari’ dari kesenian ini. Bu Nanik pun menceritakan nasib beberapa rekannya di kelompok ketoprak itu. Ada di antara seniman ketoprak tobong itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau membantu pemanenan daerah sekitar demi menyambung hidup.
Genset, menghidupkan pementasan. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
(Ingatan saya seketika terpicu beberapa tahun silam di kampung halaman saya, Rappang. Di masa-masa menjelang panen, rumah-rumah bambu beratap jerami di pinggiran sawah seperti tiba-tiba muncul dari tanah. Rumah-rumah itu berdiri begitu padi sudah menguning siap panen. Orang-orang di kampung menyebut mereka adalah orang-orang ‘Mangkasa’. Sebutan itu merujuk ke suku Makassar—yang belakangan saya ketahui ternyata orang-orang dari, antara lain, Jeneponto dan Takalar yang membuat rumah seperti itu. Mereka datang dari daerah selatan untuk menawarkan bantuan kepada para pemilik sawah untuk memanen—tentu dengan harapan imbalan. Rumah-rumah itu pun segera menghilang begitu panen sudah selesai.)

Pak Sambudi dan beberapa tatonya. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Gambaran anggota yang menggiatkan kesenian ini saya peroleh pula dari Pak Sambudi. Lelaki berkumis kelahiran 1958 ini menonjol di antara anggota kelompok yang berkumpul malam itu. Badannya paling besar, tinggi, dan kekar untuk orang seusianya. Apalagi rambutnya panjang, menggerai mendekati ujung bokong.

Tubuh Pak Sambudi bertato: di punggung ada gambar singa, di dada kanannya sesosok perempuan dan tengkorak, rajah kunci pembuka mor di lengan kiri dan gunting (rambut) tangan kirinya, dan kalajengking di lengan kiri. Semua rajah itu memiliki makna: gambar perempuan sebagai ‘buruan’ laki-laki, singa semacam lambang kejantanan, dan tengkorak menjadi simbol ‘risiko’ yang ditempuh sang pemilik tato, serta kalajengking yang berarti ‘sengatan’.

Apa arti gambar gunting dan kunci pembuka mor bagi Pak Sambudi sampai menjadikannya tato? “Saya pernah menjadi tukang gunting rambut dan kerja di bengkel,” ungkap Sambudi, yang segera saya sambut dengan tawa. Sambudi, seraya menahan tawa menambahkan, “itu sebelum saya ikut ketoprak.”


Mahkota. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Kehidupan seniman ketoprak tampak menyatukan panggung dan kehidupan di belakang panggung. Keduanya hanya terpisah sebuah tirai merah yang digulung begitu setiap babakan selesai. Bilik tempat tinggal para seniman berada di belakang, beserta tanda-tanda bermukim seperti kurungan burung dan kandang ayam, serta sumur (beserta kamar mandinya). Tampak pula sejenis timun berukuran besar yang berjajar sebagai persediaan lauk mereka. Begitu juga bagian dalam beberapa bilik yang keadaannya sama dengan milik Klowok. Pembedanya, seperti di salah satu bilik, ada kanvas dengan lukisan yang belum rampung.

Pertemuan Bu Nanik dengan Ketoprak Kelana Bhakti Budaya itu berawal tujuh tahun lalu. Ketika itu, kelompok ketoprak dari Jawa Timur ini sedang berpentas di kawasan Banyuraden, yang tak jauh dari Demak Ijo, tempat bermukim Bu Nanik. Kelana Bakti Budaya, salah satu kelompok ketoprak tobong terakhir yang tersisa di Yogyakarta. Mereka kini di Dusun Bayen, Purwomartani, Kalasan, Kabupaten Sleman.

Para pemain berdandan dan bersiap. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Ketoprak merupakan jenis teater tradisional Jawa dengan dialog, monolog, dan musik. Kata ‘tobong’ sendiri berkaitan dengan bangunan bambu, terdiri dari panggung, tempat tinggal, dan tempat untuk penonton. “Tanah ini mereka tempati gratis. Ada yang berbaik hati pinjami tanpa sewa,” terang Antariksa, peneliti Galeri iCAN, salah seorang yang mendampingi kelompok ini.

Begitulah perkembangan terakhir dari jenis kesenian rakyat ini. Kemunculan awal ketoprak diperkirakan tahun 1887 silam menurut A. Kasim Achmad dalam Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (Cipta, 2006), hanya sebentuk permainan orang desa yang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama.
Tirai pembatas hidup pemain ketoprak. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Orang-orang seperti Ibu Nanik dan Pak Sambudi banyak lagi. Mereka berasal dari sekitar tempat pementasan kelompok ketoprak tobong itu. Ketika acara menjelang dimulai, seorang lelaki separuh baya berkopiah, berjaket, dan bersarung lalu bergabung dengan pemusik lain yang sudah siap di depan panggung. “Itu orang tinggalnya dekat-dekat sini. Mereka datang bantu-bantu musik,” terang Antariksa.

Malam itu saya terkejut. Saya yakin, nujuman Suku Maya soal kiamat di akhir tahun 2012, berkebalikan di sini. Begitu besar daya hidup yang memancar dari tempat ini. Saya pulang dengan keyakinan: kiamat segera dibatalkan![]

Komentar

Postingan Populer