Firman Djamil, Pendobrak di Jalan Setapak


(Tulisan ini merupakan tulisan pertama saya tentang Firman Djamil. Tulisan ini disiar oleh Panyingkul! pada 27 Juli 2007 silam.)
Pertunjukan Firman di perbatasan Mamasa-Toraja. (foto: koleksi pribadi Firman Djamil)
MOBIL kijang coklat kopi susu berplat merah DD XXX AI berhenti di sekitar pintu selatan Mal Panakkukang sekitar pukul 17.00 Wita sore itu. Tampaknya si mobil sedang menunggu seorang ibu berkerudung yang tergopoh membawa tas plastik penuh barang belanjaan. Begitu pintunya terbuka, si ibu langsung menyimpan tas yang kembung itu di kursi belakang. Sekitar 10 meter di belakang mobil, tangan Firman Djamil naik dan menunjuk. “Lihat itu. Kok pakai plat merah pergi belanja. Apa ndak malu?” katanya, seraya membetulkan topi. 

Lirih tapi tegas. Matanya menatap tanpa kedip ke mobil tersebut. Saya membalas ucapannya dengan senyum lalu menandaskan kopi yang tersisa, di salah sebuah meja ruang bebas merokok di Café Coral Mal Panakkukang. Sebelumnya, kami sepakat bertemu di sana. Banyak yang kami obrolkan. Begitu magrib lewat, kami pun pulang.

Protes terhadap kebiasaan aparat pelaksana administrasi daerah dan negara itu sering saya dengar meluncur dari bibir Firman Djamil, baik lewat obrolan maupun di forum resmi. Di sebuah seminar nasional kebudayaan yang digelar untuk peringatan ulang tahun Makassar akhir Juni 2007 lalu, ia berkeluh kesah perihal rencana pemerintah yang disebutnya tidak tahu memperlakukan Benteng Somba Opu. 


Alasan yang berhubungan dengan protes ini pernah Firman ungkapkan dalam sebuah kesempatan saya berkunjung ke studionya di Benteng Somba Opu beberapa waktu lalu. Di sekitar studionya yang berbentuk rumah panggung, staf salah satu dinas pernah datang. Mereka berencana untuk melapis permukaan tanah sekitar rumah panggung tersebut dengan pavin block. Jelas saja Firman protes. “Kok mau disemen. Apa tidak mikir kalau cara-cara begitu bisa bikin banjir,” katanya menggerutu, seraya mengulung lengan kanan kaos oblongnya. 

Hingga kini, studio di kawasan Lekoboddong Kompleks Benteng Somba Opu itu tetap dikelilingi pohon rimbun. Sungguh sebuah tempat istirahat yang nyaman. Sejuk dan damai. Nyaris hanya suara Wen, nama angsa peliharaannya, yang sesekali terdengar berseru bila ada tamu, atau peringatan adanya bahaya seperti kadal yang datang dari Sungai Jeneberang yang mengalir di belakang rumah tersebut. 

PROTES Firman seperti yang sudah tersebut tidak cuma dalam bentuk gerutu atau obrolan di warung kopi, tempatnya kerap mengepulkan asap rokok Dji Sam Soe, Pall Mall, dan Lucky Strike yang selalu dibelinya bersamaan. Ia tumpahkan kekecewaan dan pesan pengingat kepada khalayak — baik pemerintah, kaum bermodal, maupun masyarakat sendiri — ke dalam karya-karya seni rupanya; mulai dari sketsa, lukisan, karya instalasi, hingga dalam wujud seni pertunjukan (performance arts). 

Wajarlah bila menonton seni pertunjukan outdoor yang digagas Firman biasanya bertema tentang korupsi, nepotisme, kolusi, kerusakan lingkungan — yang kesemuanya adalah percabangan dari keserakahan manusia. Sebutlah Tujuh Manusia I Lagaligo yang dipentaskan di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan pada 1998 lalu.

Sebelum pementasan, bibit-bibit pohon itu disemayamkan di Benteng Somba Opu, Fort Rotterdam, dan membawanya ke kompleks Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, yang kala itu dipimpin Zainal Basri Palaguna. Di depan kantor yang berada di kawasan berbukit dan berpohon jarang itulah bibit-bibit itu ditanam. Tunas-tunas pohon tersebut kemudian merimbun dan dapat kita lihat setiap melintas di depan kantor orang nomor satu Sulsel tersebut. Pertunjukan itu, kata Firman, diharapkannya menjadi pengingat bagi para birokrat agar terus memerhatikan kelestarian lingkungan hidup dalam setiap agenda pembangunan. 

Seperti happening art dan performance art yang digagas sebelumnya, penonton bebas menentukan posisi mereka. Bahkan keterlibatan mereka dalam pertunjukan itu tidaklah dilarang. Bagi Afrizal Malna, cara ini diibaratkannya sebagai sebuah “jendela yang terlempar”; ketika bingkai pertunjukan semakin relatif, di saat penonton bebas menentukan posisinya di mana pun menonton. 

Tema senada juga disampaikan pula dalam karyanya bertajuk Suara dari Dalam (The Insider Voice Comes Up) yang ditampilkan Firman di Janggungbong Nature Art Park, Gongju, Korea Selatan, pada 16 Agustus 2004. Sebuah lingga yang dibuat dari pecahan batu gunung sekira 550 sentimeter. Di sekitar lingga, Firman kemudian memulai pertunjukannya dengan membenturkan sebilah pipa ke batu. Pipa yang menimbulkan bunyi dentang seperti lonceng kematian. Dentang itu kemudian ditingkahi seorang pria bulai gondrong yang meniup Didgeridoo (alat musik tiup penduduk asli bagian utara Australia). Firman beralih menyalakan chain saw (gergaji mesin). Gergaji itu diputar-putarnya. Bahkan adegan berbahaya pun dilakukan. Ia memasukkan gergaji mesin itu ke dalam baju kaos yang dikenakannya. Tentu saja kaos abu-abu itu lantas koyak. Setelahnya, masih dengan gergaji mesin di tangan, Firman lalu mengiris semangka yang digantung tak berdaya. Gergaji kemudian diputar-putar di udara. 
Prosesi itu merupakan presentasi yang dilakukan Firman kepada publik atas Suara dari Dalam yang dikerjakannya selama 3 bulan dan disokong oleh Pemerintah Korea Selatan. Sebuah prosesi yang disebutnya sebagai ‘ritual tumbuhan dan ritual mesin’. Ia hendak mengingatkan bahwa mesin yang agresif hanya akan merusak tumbuhan yang pasif. 

Tapi Suara dari Dalam berdiri di situ bukan sekadar monumen. Karya tersebut juga mengajak para pengunjung untuk berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan hidup. Di sekitar lingga terdapat tulisan yang isinya mengajak pengunjung untuk melemparkan biji-biji tumbuhan ke tiang tersebut. Biji tanaman yang kelak tumbuh akan disemai menjadi bibit yang akan ditanam lagi di sekitar taman yang dikelola Gongju Communication Arts College. Hingga kini, Suara dari Dalam berdiri permanen di taman konservasi alam Negeri Ginseng itu. 

Karya permanen Firman yang lain berjudul Stone Grow, juga berdiri taman patung Mugla University Art Park, Turki. Karya yang diinspirasi oleh Batu MemmanaLeang-Leang diperuntukkan sebagai referensi penyadaran tentang perspektif dalam konteks mitologi dengan konsep modernitas dalam sebuah implementasi pada tatanan sebuah kota. “Karena dalam konsep kota, batu tumbuh hanya berbentuk beton. Pertanyaan kemudian, kenapa membangun kota; kenapa bukan desa?” gugatnya. 

(Pertanyaan itu mengingat saya seruan Iwan Fals dalam lagu Desa: …desa harus jadi kekuatan ekonomi/agar warganya tak hijrah ke kota/sepinya desa adalah modal utama/untuk bekerja dan mengembangkan diri/…/desa adalah kekuatan sejati/negara harus berpihak pada para petani/…/di lumbung kita menabung/datang paceklik kita tak bingung/masa panen masa berpesta/itulah harapan kita semua…) 

Karya ini melalui seleksi ketat di ajang penyelenggara Sculpture Competition at II International Workshop and Exhibition on Carian Stone yang kemudian memilih 10 perupa dari berbagai negara. Hasil seleksi tersebut kemudian dirangkai dengan workshop selama sebulan, yang kemudian melahirkan karya itu. 

Baginya, seni lingkungan yang digelutinya sebagai upaya mengajak manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam dengan menyerahkan kembali alam pada ‘masyarakat etniknya’, dengan mitos-mitos yang dimilikinya sebagai ahli waris penjaga norma-norma keseimbangan alam. “Seni adalah alternatif solusi moral, mencoba menafsirkan simbol-simbol mitologi lama menjadi mitos-mitos baru dalam proses kreatif seni saya,” tegasnya.

Karya Firman Djamil di Janggungbong Nature Art Park, Korea Selatan. (foto: Koleksi pribadi) 
PERTUNJUKAN yang saya saksikan lewat video rekaman itu mengilukan gigi saya, terutama tersebab adegan menggunakan gergaji mesin. Beberapa penonton juga yang tertangkap kamera dalam rekaman tersebut memegangi bibir mereka, mungkin sekali karena was-was. Sebenarnya, kata Firman, beberapa temannya juga sering menegur agar berhati-hati melakukan gerakan yang bisa saja membuatnya celaka. Tapi kata Firman, kalau pentas begitu sensitivitas tubuhnya malah meninggi.

“Mungkin karena adrenalin juga ikut naik. Makanya waktu saya di Jepang, saya heran sendiri waktu bisa menancapkan chain saw di tanah dengan gerakan kayang. Kalau kamu suruh saya kayang sekarang, saya sudah tidak bisa lagi,” ujar lelaki kelahiran Bukaka-Bone 5 Februari 1964 ini. 


Karena adegan-adegan itulah banyak teman dan sesama seniman menganggapnya kerasukan roh bila pentas. Padahal, kata Firman, ia sangat sadar. Sesadar-sadarnya. Bukan hanya adegan gergaji seperti tadi yang bisa membuat celaka. Menjunjung api yang menyala dalam dupa pun sebenarnya dirasanya begitu panas, seperti yang pernah dilakukan tatkala ia tampilkan The Shadow of Hand dalam IIA Festival di Byron Bay, Australia Juli 2005 lalu. Hanya saja, berkat sensor inderanya yang lebih sensitif, mendorong tubuhnya bisa membuat gerakan pertunjukan yang dapat menjadikannya aman dan nyaman. Ditambah lagi kelenturan tubuh Firman dalam menyajikan performance arts yang dimungkinkan oleh latar belakang yang pernah belajar tari ketika mahasiswa dulu. Hanya saja, untuk membuat pertunjukan seperti itu, ia sangat membutuhkan bunyi gendang, yang disebutnya, mampu memberi semangat lebih dalam setiap pertunjukan. 

PERKENALAN Firman dengan seni lingkungan ini dimulai di tahun 1990-an lalu. Ketika itu ia bertugas sebagai guru di Desa Tabang (yang masuk dalam wilayah administratif Toraja) dan Massanda (masuk wilayah Mamasa—Sulawesi Barat sekarang). Kala itu ia melihat dan merasakan langsung perubahan sosial kemasyarakatan di kedua desa yang sebagian besar warganya menanam kopi. Dua desa tersebut belum mengenal mesin pada rentang waktu itu. Segalanya masih tradisional. Untuk memasak nasi pun para perempuan setempat memulainya dengan menumbuk padi di lesung dan memisahkan antara kulit dan berasnya. Kalau pun ada yang langsung memasak beras, kata Firman, hanya pegawai karena mendapat jatah beras dari Bulog. 

Tapi sedikit demi sedikit, perubahan terjadi di kedua desa ketika harga kopi naik melangit. Pada petani yang menjual kopinya membawa pulang uang begitu banyak. Firman melihat sendiri beberapa petani membawa karung gemuk berisi lembaran uang yang terikat. “Tapi penduduk tidak tahu mau diapakan uang sebanyak itu,” ujarnya. 

Bau timbunan uang di desa tersebut akhirnya tercium hingga ke kota. Perlahan tapi pasti, para pedagang kemudian merambah menjajakan dagangan di desa yang mengharuskan orang berjalan kaki sehari untuk mencapainya. Singkat cerita, penghuni desa kemudian mulai mengenal televisi, yang mengharuskan mereka membeli generator karena desa belum mendapat aliran listrik PLN. Dari televisi penduduk mengenal sinetron dan iklan. Perempuan-perempuan desa pun mengenal kosmetik karena ingin seperti orang-orang yang ada dalam televisi. Kaum adam pun mulai malas, bahkan, meninggalkan lahan-lahan mereka karena lebih doyan menghabiskan waktu di depan televisi. 

Kenyataan inilah yang menggerakkan Firman untuk merancang sebuah performance art. Ia menghimpun sekitar 40 warga desa—yang terdiri dari guru, pegawai, anak, dan remaja setempat—untuk dilatih menari. Setelah dirasa latihan cukup, pertunjukan yang dijuduli Tedongna Tondok Toraya na Kondo Sapata di Paurungan pun digelar di tengah sawah. Dalam pertunjukannya, ia menampilkan ritual di tengah sawah becek yang belum digarap. Dipasangnya kelambu sebagai ‘rumah dewa’, tangkai padi, obor, dan merancang ritual untuk dewi padi. Firman dan para pemain pertunjukan menari dan bernyanyi tembang-tembang Toraja di lahan yang berlumpur itu. Para penduduk desa menonton pertunjukan dari sawah yang berundak-undak. Dan lahan yang mereka pakai dengan sendirinya terolah karena permainan dalam pertunjukan tersebut. "Kesertaan warga setempat itu sangat penting, membangkitkan kebanggaan mereka akan adat maupun budaya milik mereka sendiri," paparnya, yang dikutip Kompas edisi 11 Agustus 2003. 

JALAN yang ditempuh lelaki langsing berambut panjang ini tidak mendapat tempat di Indonesia. Setidaknya hal ini beberapa kali ia lontarkan dalam obrolan. Diperparah lagi dengan gairah seni di Makassar, tempatnya berkarya, sama sekali tak memberinya kesempatan besar untuk mengembangkan idenya. “Kesenian kita di Makassar sekarang lebih mengabdi pada partai dan politik,” cetus sulung dari 7 bersaudara ini. 

Hal ini wajar terjadi adanya. Hubungan antara pemerintah dan penggiat seni di Makassar, ungkap Firman, hanya dikuasai oleh kalangan tertentu saja. Bahkan pengalaman bersentuhan dengan segelintir orang tersebut pernah ia alami. Satu contoh ia sebut ketika meminta dukungan dari Pemkot Makassar untuk berangkat menghadiri undangan dari panitia sebuah even seni internasional. Dana yang telah cair, bahkan tandatangan pun siap ia bubuhkan, nyaris tak jadi diambil. Untungnya Firman saat itu berkeras dan melewati perdebatan yang panjang. “Soalnya semua bantuan terkait kesenian sepertinya ‘harus’ lewat dia,” ungkap Firman. Ia enggan menyebut nama orang yang dimaksud. 

Seni yang dipraktikkan Firman disebut-sebut sebagai bagian dari seni avant garde, yang oleh Robert Atkins—pengarang buku Artspeak—berasal dari istilah militer ‘Advance Guard’ yang berarti ‘garda depan’; dipakai untuk menggambarkan posisi para serdadu yang berada di garis depan. Sementara dalam seni, penamaan ini adalah istilah yang disematkan kritikus pada kelompok seniman yang menjunjung tinggi ketulenan (orisinalitas). Karenanya, tidak mengherankan bila kelompok pengecimpung dunia seni ini berhasil membuat kejutan bagi lingkungan di mana ia berkarya. Mereka terus berupaya menyajikan sesuatu yang baru, dan menghadirkan karyanya jauh dari pemikiran umum masyarakat sekitarnya. Bahkan bila dianalogikan kesenian adalah jalan raya, maka mereka tidak lain kelompok yang setia menyusur, bahkan membuat, jalan setapak. 

Untuk skala Indonesia, kehadiran seniman jalur ini tidak mendapat tempat di sisi penyelenggara pemerintahan. Lain dengan negara-negara di Eropa yang memang menyubsidi para pekerja seni garda depannya. Negara-negara tersebut member perhatian khusus kepada kelompok seniman itu sebagai usaha menjaga kemungkinan baru dalam berkesenian, yang tentu akan berefek ke antusiasme khalayak dalam menikmati karya seni di negara yang bersangkutan. “Lain dengan kita (Indonesia) yang justru sering mengebiri seniman-seniman kita sendiri,” ujar Firman. 

Kala tulisan ini saya susun, Firman bersibuk mengurus dan melayangkan proposal ke beberapa pihak, plus menawarkan sketsa dan lukisannya. Ia berencana menghadiri 33rd Summer Symposium in Lazarea 2007 dan Summer Symposium in Sovata 2007-Rumania September 2007, serta International Openair Art Expression-Hiki 2007, Tokyo Denki University Jepang, 4 September-14 Oktober 2007.


PRAKTIK-praktik berkesenian yang ditampilkan Firman tak jauh beda dengan kehidupan sehari-harinya. Segala yang mapan selalu coba didobrak. Imej tentang guru yang harus dengan pakaian rapi dan rambut pendek ditepisnya. Ia sempat setia dengan rambut sepunggung diikat, kaos oblong, dan sepatu kets atau boot. Ia melawan segala yang berbau penilaian yang berdasarkan tampakan luar belaka. “Tunjukkan aturannya kalau ada larangan bagi guru untuk berambut panjang,” katanya.

Bahkan membawakan pelajaran seni rupa bagi siswa-siswa sebuah sekolah menengah pertama di Makassar, disebutnya, hanya sekadar ‘meminjam kelas’. Karena pengadaan bahan untuk pelajaran seni rupa kalau tidak ada dari sekolah, ya sediakan sendiri. “Kalau misalnya kelas tidak bisa dipakai, saya ajak anak-anak itu ke bawah pohon mangga. Tempat saya kira tidak ada masalah untuk belajar,” terang dengan mata yang menatap tak berkedip. 

Di antara karya Firman di studio Somba Opu, saya dapati beberapa karya anak didiknya yang tersusun di bilik pribadinya. Karya itu dibuat di banyak matra seperti nyiru dan karton. Gambar-gambarnya sendiri terbuat dari kain perca, guntingan kertas ragam warna, sampai bulu ayam. 
Iri rasanya melihat mereka leluasa mengekspresikan apa pun yang terlintas dalam benak mereka yang kemudian menjadi karya. Sebuah kondisi yang saya tidak alami kala duduk di tingkat yang sama mereka sekarang. Selama sekolah menengah pertama, saya hanya diajari melukis dengan cat minyak. Tak jauh-jauh objeknya. Paling banter ‘pemandangan’; dua gunung yang berdampingan, sebatang jalan lengkap tiang kabel listrik, kiri ada rumah yang letaknya tak jauh dari sawah, sementara kanannya perahu dan laut. Parahnya lagi karena gambar itu nyaris seragam. Entah apa penyebab ini. Bisa jadi penyeragaman ide para pengajar yang tak memberi kesempatan anak didiknya untuk mengembangkan daya imajinasi mereka sendiri. 

Salah seorang alumni sekolah tersebut, Nur Wahida (20) mengungkapkan, ‘Pak Firman’ adalah sosok guru yang dirindukan. Cara belajar yang diterapkan membuat ia dan rekannya bisa belajar dengan santai. Tak jarang pula Firman hanya menjadi motivator bagi siswa-siswanya. “Ia selalu membebaskan siswa untuk menggambar apa saja yang mereka mau,” ungkap perempuan berjilbab yang kini belajar di Fakultas Pertanian Unhas. 

Firman juga tidak serta merta menegur siswa yang bersalah di depan kelas atau sesi pelajaran. Hal-hal yang perlu diperbaiki dilakukan dengan pendekatan langsung ke siswa bersangkutan. Mungkin, kata Indah—panggilan Nur Wahidah, sebuah cara yang diterapkan ‘Pak Firman’ menangani perkembangan mental anak di usia yang beranjak remaja dan dewasa. 

Dalam membimbing siswa, Firman pun sangat menghindari penerapan hukuman dan kekerasan. Ia akan langsung menegur siapapun yang berbuat demikian. Tak segan pula dilapornya ke Komnas HAM. “Ya Alhamdulillah sekarang di sana tidak ada lagi. Tapi saya tidak tahu apa ada kalau saya tidak lihat. Yang jelas, jangan di depan saya-lah,” katanya. 

Apa yang diajarkan dan dilakukan Firman ke anak didiknya adalah sebentuk ‘pemberontakan’ yang terus dilakukan alumni IKIP Ujungpandang ini hingga sekarang, baik kepada birokrat, kalangan bermodal, maupun untuk masyarakat sebagai tempat ia tumbuh dan berkembang. Firman tahu, menyusur jalan setapak, menghindari ramainya jalan raya berkesenian dan bermasyarakat, adalah laku yang memerlukan keteguhan hati. Juga kerelaan menyerahkan diri pada sepi.

Dari jalan setapak itu, Firman terus memendam obsesinya untuk, "Membangun museum yang akan mengabadikan karya-karyaku".[] 

Komentar

Postingan Populer