Nyamuk-nyamuk di Punggung Sulawesi

Budi daya kelapa sawit menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi orang utan akibat penebangan dan terbakarnya hutan di Kalimantan. Hal serupa terjadi di garis lintang yang sama, di timur pulau raksasa Kalimantan, di punggung Sulawesi, di kawasan Mamuju Tengah, tepatnya di Kecamatan Tobadak, 180-an kilometer utara Mamuju. Hilangnya hutan demi lahan kelapa sawit menciptakan mintakat (zona) malaria. Bagaimana penduduk setempat menangkal demam ini?

LETAK Kecamatan Tobadak berkisar 180 kilometer di utara Mamuju. Wilayah kecamatan ini penuh batang-batang kelapa sawit. Lebih cepat sampai di sana bila berangkat dari Palu ketimbang dari Makassar. Karena, kata orang, jalanan dari Palu lebih mulus dibanding dari Makassar. Pelebaran jalan trans Sulawesi dari Makassar sampai di Mamuju belum selesai. Setidaknya begitulah yang saya alami ketika berangkat ke sana pada pertengahan tahun 2011. 
Salah satu bagian poros Trans Sulawesi, sekitar Topoyo. (foto: Anwar J Rachman)
Sejak pemekaran Mamuju-Majene-Polewali Mamasa menjadi Sulawesi Barat, pemerintah provinsi baru menggalakkan pembangunan fisik, termasuk jalan. Sebelumnya masih jalan kecil dan tak mulus. Bahkan jalan menuju Tobadak hanya separuh beraspal. Begitu kendaraan masuk di hamparan belantara sawit di Tobadak, Anda akan temui jalan berbatu berkerikil. Menutup kaca mobil cara paling aman agar bebas dari kepulan debu sepanjang jalan.

Tobadak merupakan kawasan hutan di timur Topoyo, sebuah kecamatan di poros trans Sulawesi yang santer disebut calon ibukota Mamuju Tengah. Para transmigran membuka Tobadak sekitar tahun 1993 silam. Awal pembukaan, Tobadak berpenghuni 121 kepala keluarga. Nyaris seluruhnya berasal dari Bakaru, Polmas. Semua beragam Kristen dan awalnya bermukim di daerah pegunungan. Hanya Haji Rustam yang beragama Islam dan orang pantai.

Menurut H Rustam, ia datang sendiri saat mengantar 121 KK ke kawasan Tobadak sekarang. 
H Rustam tidak bersama istrinya karena sang istri baru melahirkan anaknya yang bungsu. Dua minggu setelahnya baru ia berangkat mengambil istrinya di Polmas. 

Waktu datang pertama H Rustam tidur memakai kelambu. Ketika itu ia belum tahu obat apa yang ampuh untuk malaria. Ganasnya malaria ia gambarkan dengan, “Sapi dan kuda mati dimakan nyamuk. Na bungkus nyamuk. Kuda dulu pembagian di sini! Mungkin mati capek karena tidak berhenti lari kalau malam!”

Penangkal malaria warga desa ini adalah empedu ular sanca. H Rustam mengungkapkan, ia mendapatkan pengetahuan ini dari kalangan pengusaha Tionghoa. “Itu mi aslinya obat China!” serunya.

Namun H Rustam tidak mau merekomendasikan empedu sanca ke banyak orang. Ia hanya memberi obat tradisional itu bila mereka datang meminta. “Saya takut kalau ada risikonya. Tapi Alhamdulillah, tetangga sebelah (menunjuk depan rumahnya) sembuhnya makan begitu. Banyak uangnya dia pakai berobat, sampai rontok rambutnya, tapi tidak sembuh-sembuh. Ke sini pi minta baru saya kasih,” kata istrinya.

H Rustam mendapatkan empedu ular sanca kala membersihkan lahan pembagian para transmigran awal membuka hutan. Beberapa lama pun ia bersama istri menekuni usaha jual beli kulit ular. Siang malam keduanya menguliti ular sanca di masa pertama mereka menekuni usaha itu. Sambil jual beli kulit, H Rustam sempat mengumpulkan empedu ular pesanan pembeli di Makassar. Beberapa tahun lalu, kata lelaki berkumis itu, harga empedu sanca mencapai Rp7 juta per kilogram. Tapi, kata H Rustam, sekilogram itu, setidaknya, membutuhkan 130 ekor sanca. “Saya tidak pernah menumpuk (empedu ular) karena pengusaha Tionghoa selalu datang ambil. Paling banyak setengah kilo.”

Beberapa kalangan juga sudah menggunakan obat alami ini. Seorang pejabat polisi setempat, kata istrinya, sesekali meneleponnya meminta persediaan empedu sanca. “Kalau sudah dimakan, semua makanan enak dilihat,” kata H Rustam, meyakinkan. 

H Rustam lalu menelan mentah-mentah empedu sanca yang sudah ia keringkan. Istrinya menyimpan empedu itu di lemari dekat ruang tamunya. Beberapa saat kemudian, H Rustam menunjukkan dadanya yang sudah berkeringat—kendati cuaca hari itu tidak terik. “Pokoknya  dikasih sehat ki!”

Sebenarnya, menurut H Rustam, khasiat empedu sanca sebesar ukuran kelingking itu belum seberapa dibanding empedu ular sendok. Bisa menyembuhkan banyak penyakit. Namun ular yang bisa disebut kobra itu lebih banyak ia dapatkan di Kalimantan. Bila empedu sanca tidak ada, banyak obat alami bisa dipakai jadi obat, seperti cacing tanah yang menyembuhkan sesak napas sampai daun maja direbus sembilan lembar (asal berjumlah ganjil) untuk mengobati kencing manis. “Waktu Aji (Haji, suaminya) ke Mekkah, tidak naik haji ji. Pergi ji ma’dukung (mengobati orang),” ujar istrinya.

H RUSTAM merupakan salah seorang tokoh masyarakat Tobadak. Bisa jadi karena ia adalah orang yang mengantar para transmigran yang kini bermukim di kecamatan itu. Ditambah lagi lelaki berusia 55 tahun ini kerap menjadi tempat tetangganya mencari obat alternatif semacam penangkal malaria.

Kawan baik saya, Ridwan Alimuddin, seorang penulis yang tinggal di Polewali, mengenal nama itu. H Rustam terkenal sekali, kata Ridwan. Seorang kawan lain, Kemal, membenarkan. Kemal, mahasiwa Kelautan Unhas asal Mamuju, melihat H Rustam kala ricuh pilkada gubernur Sulbar. Kala itu massa nyaris bentrok karena para pendukung kandidat masing-masing bertahan. Tiba-tiba, tutur Kemal, naiklah H Rustam menghardik satu kubu pendukung agar pulang. Pendukung, yang sebagian besar bersenjata tajam, seperti mendengar perintah seorang pemimpin. Mereka menurut lalu membubarkan diri. 
“Mungkin ada ilmu pa’gerra’-nya itu Haji Rustam!" duga Kemal. Pa’gerra’ semacam kharisma yang membuat orang jadi menurut.

Sebelum bermukim di Tobadak, H Rustam melanglang buana ke banyak tempat, terutama Malaysia—tujuan lazim para lelaki Sulawesi. Ia pernah setahun di hutan Sabah, ikut seorang cukong kayu gelondongan Tionghoa-Melayu. Rustam nyaris tewas di sana karena kecerobohan sendiri. Ia masuk mobil tangki pengangkut solar. Tangki itu sudah kering. Rustam yang kecapekan bekerja mengecat tangki, tak bisa melawan kantuk. Ia masuk tangki untuk tidur karena takut beruang dan ular sendok. Kawasan tempatnya bekerja masihlah hutan lebat. Sehari semalam Rustam mendekam di tangki. Untung terdengar bunyi air yang ada di samping tangki. “Saya dengar ada orang cuci kaki dari lubang di bawah tangki. Saya langsung ketuk-ketuk tangki teriak minta tolong. Ternyata ada orang Dayak yang cuci kaki dengar dan mengeluarkan saya. Hampir betul ka mati!” seru Rustam dengan mata membelalak.

Sebelum masuk hutan Sabah, Rustam juga pernah bersama Basri Masse di Malaysia. Basri Masse adalah seorang migran Indonesia asal Parepare, terpidana mati karena tuduhan mengedarkan obat-obatan terlarang. Berita Basri sempat mewarnai media cetak Indonesia pada awal 1980-an lalu karena hukuman ini. Basri Masse ditangkap di Labuan. Namun Rustam lolos karena dengan cepat menyamar sebagai nelayan dengan mengambil sarung nelayan setempat. “Saya langsung pegang tali perahu jadi dikira nelayan di situ,” kenang Rustam. Rustam segera pulang ke Indonesia pada hari eksekusi Basri.

Menurut Rustam, tertangkapnya Basri lantaran seorang intel selalu mengikuti mereka selama di sana selama setahun ‘sampai rambut si intel gondrong’. “Obat-obatan itu diperoleh dari warga keturunan Tionghoa di Malaysia,” ungkap Rustam.

NASIB WILAYAH lain tak jauh beda dengan Tobadak. Kasma, istri Kepala Desa Tumbu, Al Habsi, juga pernah menderita malaria 2003 silam. Kasma mengira hanya sakit kepala biasa. Tapi sakit kepala yang ia derita rupanya tanpa jeda. Keesokan harinya ia langsung berangkat ke Puskesmas Topoyo untuk memeriksakan diri."Waktu itu, sakit kepala tidak ada jeda, muntah-muntah, panas, menggigil," terang Kasma.

Obat paling lazim adalah daun dan akar pepaya, dengan merebus dan meminum airnya. Menurut seorang pengusaha sebuah rumah makan di Topoyo, ketika tiba pertama kali di Topoyo, suaminya menderita malaria. Hanya air perasan daun pepaya yang membuatnya sembuh.

Warga Tumbu bernama Tahir (70), malaria muncul justru di musim pancaroba. Selain pepaya, ia dan keluarga memakai bilajang kurita untuk menghindari momok malaria. "Cukup iris dan potong kecil-kecil (bilajang kurita) dan masukkan ke air panas. Nanti kalau sudah potongannya tenggelam, airnya sudah dingin, nah itu boleh diminum," ungkapnya. Harfiah bilajang kurita adalah 'tali gurita', tanaman rambat seperti tangan gurita.

Selain pepaya dan bilajang kurita, Pak Tahir juga memberi resep daung pai-pai. Bisa jadi sambiloto nama Indonesia-nya. Helai daunnya seperti kemangi. Pahit benar. Rasanya tertinggal di batas mulut dan tenggorokan.

Hanya Desa Lara yang punya obat lain selain pepaya. Orang setempat menyebutnya Buah Nase'. Buah itu sepintas serupa dengan jagung. Namun ukurannya sebesar lengan orang dewasa. Pohonnya, menurut Pak La Tani, mirip dengan pohon pandan. Biasanya, kata La Tani, tumbuhnya hanya di hutan. Itu pun biasa dibawa keluar hutan oleh para pencari rotan.

"Banyak yang beli biasa. Mereka (para pencari rotan) cuma titip sama saya," ujar La Tani, pria tuna netra, migran dari Sidrap. Buah Nase' dipakai sebagai obat luka dalam. Cara menyajikannya, buah dicuci dan diremukkan, lalu dimasak hingga mendidih. []

Komentar

Postingan Populer