Bulu Tangkis ala Tanah Mandar

Bulu tangkis masih menjadi olahraga yang mahal bagi sebagian orang. Raketnya sudah ratusan ribu bahkan ada yang jutaan rupiah. Soal suttlecock lebih-lebih. Kadang cuma untuk satu-dua poin, habis smash kiri pukul kanan, mesti ganti bulu lagi.
Tapi di Kabupaten Polewali Mamasa, Sulawesi Barat, masyarakat setempat punya cara termurah menikmati permainan yang konon asalnya dari Tanah Inggris itu.
Menurut Kepala Desa Lembang-Lembang, Polman, Arifuddin, pernah satu waktu, masyarakat setempat tergila-gila pada bulu tangkis. Tapi lantaran kendala teknis seperti membetulkan senar raket harus jauh di kota. Lagi pula alat tangkis itu terbilang mahal bagi masyarakatnya, maka dibuatlah pemukul sederhana.
Bahannya terbuat dari kayu berlapis gabus. Bicara kekencangan hasil pukulan, memang kalah dari bat yang bersenar. Namun kegembiraan yang dihasilkan jelas tak ada duanya.
Seluruh halaman lapang yang ada di desa yang letaknya sekira delapan kilometer dari Limbung itu tak ada yang kosong. Kalau tidak jadi tempat menjemur kemiri, pasti jadi lapangan bulu tangkis. Sore dan malam lapangan diramaikan anak-anak hingga dewasa bermain tepuk bulu.
Pertengahan Agustus lalu saya berkesempatan ke sana. Awalnya, saya melihat seorang anak membawa sebuah bat putih. Saya pikir, barang yang biasa saja. Bat kayu berlapis gabus rupanya. Belakangan setelah mengunjungi beberapa rumah untuk sebuah penelitian, saya melihat para pemuda bermain tepuk bulu dengan pemukul serupa yang saya lihat dipegang oleh seorang anak.

Beberapa hari kemudian saya diajak oleh kadesnya untuk menonton pertandingan bulu tangkis di dusun tetangga. “Pertandingan antardesa untuk tujuhbelasan,” katanya. Saya segera ikut tanpa pikir panjang.
Setiba di sana, tampak warga setempat berkerumun di sebuah arena, yang menurut temanku, seperti tempat sabung ayam. Karung plastik setinggi kurang lebih tiga meter menutupi arena pertandingan. Kami ‘dihalau’ Pak Kades untuk segera masuk. Pertandingan tidak lama dimulai. Di pintu gerbang, kami dipersilakan masuk. Sementara penonton lain harus membayar. Kata seseorang di gerbang, harus bayar Rp2.000 per orang dewasa.
Begitu lewat pintu penjaga, wah, rupanya penonton sudah penuh sekeliling lapangan tanah liat yang setiap garisnya terbuat dari bambu. Menurut Kades juga, hanya empat pasangan yang main malam itu. Mereka adalah pasangan-pasangan terkuat dan terkenal seantero kabupaten untuk bulu tangkis kelas ini. Keempatnya memperebutkan tempat pertama, kedua, dan ketiga. Usai pertandingan, tiga pasangan itu kemudian menerima piala layaknya pemain bulu tangkis beraket senar.
Tak berhenti saya memikirkan pertandingan yang baru saya saksikan itu. Betapa masyarakat selalu mempunyai cara menghadapi keterbatasan dan kekurangan, seperti masyarakat di Desa Lembang-Lembang itu.[]

Komentar

Postingan Populer