Masih Tuluskah Desa seperti yang Kita Pikirkan?

Kalau Anda masih berpikir kalau desa dan manusia-manusia di dalamnya masihlah tulus seperti dulu, pengalaman saya di bawah ini bisa jadi gambaran apa yang Anda bayangkan. Baik, saya mulai cerita saya: 

PADA paruh terakhir November 2007 lalu, saya ikut penelitian pendidikan usia dini di Desa M, Kecamatan P, sekitar 20 kilometer dari kota W. Tapi yang membuat saya kaget adalah keterusterangan kepala desa dan kepala dusun perihal bagaimana saya ‘menghargai’ narasumber di desa itu. Kesan saya tentang warga desa yang tak mengharap pamrih pun sempat dibuyarkan oleh segelintir orang. 

BEGITU tiba di M sore itu, saya menuju rumah kepala desa yang diantarai sebatang jalan dengan kantor desa. Usai perkenalan, Pak Kades meminta saya menunjukkan surat keterangan yang ditandatangani pihak Kabupaten. Jelas saya tidak punya jawaban untuk itu. Karena begitu tiba di Terminal PP, saya langsung naik ojek menuju ke desa. Saya diarahkan tim peneliti bersegera ke desa. Tak ada wanti-wanti untuk singgah di Kantor Bupati mengambil surat keterangan, rekomendasi, dan sejenisnya. Tapi saya maklumi saja. Barangkali, karena tugasnyalah Kepala Desa mesti berlaku demikian. Tapi belakangan Kades agak melunak, setelah membaca print-out garis besar dari penelitian yang dilakukan sebuah lembaga internasional yang bertitik perhatian pada anak-anak. Begitu kertas diserahkan lagi, saya kemudian jelaskan bagaimana proses yang akan berjalan dalam assessment yang saya jadwal sepekan ini; termasuk wawancara dengan beberapa warga di desa yang berpenduduk sekitar 700 jiwa tersebut. Tapi justru yang membuat saya terkaget adalah pertanyaan Kades. “Ada ji uang transportasi buat yang diwawancarai?” tanya Kades. “Eh… wawancaranya saya datang ke rumah-rumah saja, Pak,” kata saya. Saya cukup gelagapan menjawab. Pertanyaan itu tak pernah saya duga akan keluar begitu saja. Sebelum saya berpikir lebih jauh mengira-ngira sebab semuanya, Kades sudah menjawabnya. Menurutnya, biasanya uang transpor itu didapatkan kalau ada warga yang ikut pelatihan di kota. “Oh saya kira ada. Sebelumnya ada begitu,” terangnya. Yang dimaksudnya adalah rangkaian pertama dari penelitian sejenis. Sementara turun ke lapangan kali ini hanya sebagai assessment dari yang pertama. Penelitian kali ini sebenarnya untuk melihat perkembangan program Taman P setahun sejak didirikan di M. Program ini diperuntukkannya bagi anak usia pra-sekolah dasar. Posyandu, taman bermain, taman kanak-kanak dijadikan satu paket. “Eh, orang apa ki?” tanya Kades. “Saya orang Bugis. Dari R, Pak,” tanggap saya. “Oh … Sidera’?” katanya dengan logat Bugis kental. Maksud dia ‘Sidrap’, kabupaten asal saya. Segera saya iye-kan. Ia kemudian mulai tertawa kecil, sambil membincangkan hal seperti seorang kerabatnya yang tinggal di Sidrap. Sekaligus menanyakan kabar rekan saya yang pernah meneliti di M setahun lalu. Sampai kemudian ia mengarahkan saya ke rumah kepala dusun yang sempat saya singgahi sebelum menuju rumahnya. Di sana saja bermalam, katanya, karena ia harus mengantar istrinya pulang. Saya makin bersemangat. Setidaknya, saya merasa bahwa tanda persetujuan sudah ada di genggaman. Ayat suci dari masjid di barat desa terdengar sayup. Saya pun pamit. DI RUMAH mertua kepala dusun magrib itu, ditemani si empunya rumah, saya dan Kepala Dusun berbincang di ruang tamu. Sinar dua pelita begitu redup. Mimik wajah Kepala Dusun nyaris tak bisa saya lihat. Pembicaraan berkisar pada fasilitas desa tersebut. Dari keluhannya tentang listrik sampai jalan yang menghubungkan M dengan desa tetangganya. Sudah dua kali, kata Kepala Dusun, warga minta PLN mengalirkan listrik ke desa tersebut, tapi hasilnya nihil. Warga akhirnya menyerah. “Jadi maafkan dek kalau di sini agak gelap,” ujarnya. Begitu pula jalan yang menghubungkan desa M dengan desa lain. Seumur hidup, jalan sepanjang sekitar 1.500 meter tak beraspal. Hanya ada dua kendaraan umum roda empat yang lalu lalang setiap hari dari desa M ke Kota W pergi pulang. Waktunya pun cuma dari pagi sampai pukul 12.00 saja. Alasan ini pula yang oleh Kepala Dusun disebut menjadi penyebab tingkat pendidikan desa itu rendah. Hanya empat warga yang lulus SMA, seorang yang menyelesaikan pendidikan strata satu, tamatan sekolah menengah pertama 15 orang, dan selebihnya pemegang ijazah sekolah dasar. Kepala Dusun lalu mengalihkan pembicaraan ke tujuan kedatangan saya. Saya jelaskan kembali tentang keperluan dan jadwal proses wawancara serta pengambilan data, sesuai yang saya paparkan ke Kades. Pertanyaan “adakah uang untuk setiap narasumber” saya hadapi lagi. Hanya kali ini dari kepala dusun. Jawaban yang saya lontarkan untuk Kades saya ulang lagi-lagi untuk Kepala Dusun. Entahlah apa jawaban itu memuaskan. Yang jelas, sang kepala dusun lalu menceritakan pengalaman beberapa warga yang mengikuti pelatihan di Makassar. Mereka mendapat ongkos transportasi bila pelatihan selesai. Kembali lagi sanggahan sama saya sebut terkait alasan ini, bahwa saya yang akan datangi rumah warga untuk wawancara. “Tidak lagi kayak dulu warga yang dikumpul,” ujar saya. Tapi saya jadi ragu sendiri dengan cara saya meyakinkan si kepala dusun. Rasanya habis sudah segala silat lidah saya soal itu. Tapi tak juga berhenti pertanyaan dan pernyataan seputar ‘penghargaan’ masih saja terlontar dari dia. Bahkan ia mengulang lagi perbandingan perlakuan orang-orang dari lembaga donor yang pernah datang ke sini. Disebutnya beberapa nama petugas yang hanya satu dua di antaranya saya pernah dengar. Sementara tanda-tanda kesiapannya untuk membantu saya selama di desa tak juga tampak. Hanya satu yang saya butuhkan, ‘restu’ untuk bergerak keesokan harinya. Akhirnya, lantaran berpikir waktu penelitian yang sempit, kali ini saya tak bisa mengelak. Saya hanya menjawab bahwa saya akan bicarakan ini segera dengan ketua tim peneliti. Segera saya kirim pesan pendek. Hanya sekitar tiga menit kemudian pesan terjawab. Tak usah beri, begitu inti pesan balasan tersebut. Jawaban ini sendiri menjadi penegasan ulang tentang tidak adanya dana untuk itu. Sejak penggodokan dan persiapan awal penelitian, tak ada sedikit pun pembicaraan terkait hal ini. Segera saya sampaikan jawaban itu ke kepala dusun. “Oh. Tidak apa-apa kalau begitu. Saya kira ada seperti dulu,” tanggapnya singkat. Tapi harapan saya yang sempat terbit karena mendapat permakluman, buyar lagi oleh pernyataan. “Coba ada, biar sedikit saja, kasi’ ke orang yang kita’ (Anda) wawancarai. Kalau saya biar tidak ada,” katanya lagi. Saya akhirnya membuka kartu. “Terus terang Pak, kami hanya disampaikan untuk kasi’ ke tuan rumah uang makan selama di sini. Lainnya tidak ada. Tapi nanti saya usahakan bagaimana caranya,” ujar saya. Tak lama setelah jawaban itu, Kepala Dusun pun menawarkan diri untuk diwawancarai. Selesai wawancara kami mengobrol lepas lagi. Kali ini ia ceritakan kehidupan ekonomi di desa itu, sebuah kondisi yang mengakibatkan beberapa warganya harus merantau. Berdasarkan catatan Kades, tidak kurang 50 warganya kini mengadu nasib di Malaysia. Angka ini belum termasuk beberapa warganya yang tersebar di beberapa pulau seperti Sumatera, Kalimantan, dan lainnya. Kepala Dusun pun menyebut, kalau ia pernah merantau ke Sumatera, di sekitar Riau. Di sana ia menjadi petani kelapa. Hingga kemudian, kembali ke desa dan menikah dan menjadi bapak dari dua anak laki-laki. Jam di telepon seluler saya menunjuk pukul 22.40 wita. Sejak selesai perjamuan malam kami, mertua Kepala Dusun nyaris tak pernah bergerak di kursinya, kecuali menggulung tembakau dan ke dapur untuk buang air kecil. Sejak tadi ia diam. Mungkin mencoba mengikuti pembicaraan kami. Bapak tidak bisa berbahasa Indonesia, begitu kata anak menantunya. Jadi sesekali saya memotong pembicaraan hanya untuk berbahasa Bugis kepadanya, yang kadang juga saya ragukan apakah dapat dicerna atau tidak. Maklum, aksen Bugis R dan B bagai langit dan bumi. Bukan hanya sebab perbedaan kosakata yang membuat saya terbata-bata. Tapi lebih dari itu, akses Bugis R dikenal kasar. Sementara lainnya mendayu lembut. Mungkin tuan rumah dan Kepala Dusun cukup mengerti dengan apa yang saya ucapkan. Tapi kesulitan sebenarnya ada pada saya. Saya harus mendekatkan telinga saya kepada kedua lawan bicara yang berintonasi lembut ini. Semua kata terdengar seperti bersambung; tanpa spasi. Jadi seperti bukan kalimat yang saya dengar. Malah kata yang teramat panjang. Tapi sepertinya mereka mengerti kesulitan saya itu. Akhirnya lontaran kalimat percakapan kami kemudian dibuat sedikit melambat. Begitulah pula ketika tuan rumah mempersilakan saya untuk masuk kamar untuk tidur. KEESOKAN harinya, usai sarapan di rumah Kepala Dusun yang berada di samping rumah mertuanya, saya serahkan uang konsumsi ke istri Kepala Dusun. Begitu hendak berangkat menuju rumah warga, Kepala Dusun menyarankan untuk membeli amplop dan mengisi lembaran ‘ala kadarnya’. Kami pun bergerak. Di warung terdekat, saya membeli tujuh lembar amplop, sekalian menukar uang untuk isi amplop. Tak lupa juga membeli tiga bungkus rokok Bitto (Big Top) untuk Kepala Dusun. Hitung-hitung sebagai imbalan jasa untuk menemani saya berkeliling desa. “Wee, banyak sekali kita’ (Anda) belikan ka,” serunya. Hari itu, selepas matahari tergelincir dari ubun-ubun, saya menyelesaikan wawancara dengan tiga narasumber. Setiap selesai wawancara, saya menyerahkan amplop itu langsung ke tangan narasumber melalui salam tempel. Saya dan Kepala Dusun segera kembali. Dua narasumber lain tidak dapat ditemui karena sedang berada di Watampone. Begitu pula dengan imam, kepala sekolah, dan sumber informasi lainnya sedang tidak ada. Malamnya, lantaran hujan, saya hanya menghabiskan waktu bercakap dengan Kepala Dusun, mulai dari cerita-cerita seputar desa sampai dengan Pilkada Sulsel yang masih ditunggu kabarnya. Di hari kedua, saya berencana melakukan percobaan. Saya akan mewawancara tanpa ‘salam tempel’. Dengan sengaja dompet dan rokok tidak saya bawa. Di perjalanan, saya membuat pengakuan bahwa saya tak membawa apapun. “Rokok saja saya lupa,” kata saya. Kepala Dusun memaklumi saja. Wawancara pun saya lakukan dengan Pak Imam Desa, guru-guru di desa. Di malam harinya, saya berkunjung ke dua orang tokoh masyarakat. Sepulang dari sana, saya kemudian memenuhi ajakan Kepala Dusun untuk bermain domino di rumah seorang kerabat dekatnya yang hendak menggelar pesta pernikahan. Singkat cerita dua hari kemudian, wawancara saya selesaikan dengan dua tiga ibu rumah tangga. Dalam perjalanan pulang, Kepala Dusun menyarankan, bila saya hendak pulang nanti, sebaiknya saya menitipinya ‘uang terima kasih’ itu kepadanya saja. “Biar saya nanti yang kasi ke mereka,” ujarnya. Saya pun mengiyakannya. Mengingat waktu pulang saya yang sudah sore, Kepala Dusun meminta bantuan ke salah seorang pemuda tetangganya untuk membonceng saya turun ke desa lain, agar saya bisa mengakses kendaraan ke Makassar. Jika tidak, saya mesti menunggu lagi sampai besok pagi untuk bisa pulang.[]

Komentar

Postingan Populer