Fardhu Kifayah, Inisiatif Warga untuk Kematian

Sejak Agustus 2008, sebuah inisiatif yang dinamai Fardhu Kifayah dilaksanakan warga Rukun Tetangga 20 Kelurahan Sumber Rejo, Kecamatan Balikpapan Tengah, Balikpapan. Kegiatan ini dilandasi niat menggalang bantuan dana untuk membiayai pengurusan jenazah warga.
Sifat kekeluargaan, gotong royong, saling tolong menolong masih terang jejaknya di berbagai tempat di tanah air. Kegiatan di Rukun Tetangga (RT), misalnya, menjadi tulang punggung penyelenggaran sistem keamanan lingkungan warga dan layanan sosial kemasyarakatan bagi warganya. Di Kelurahan Sumber Rejo, layanan semacam ini pun muncul sejak pertengahan tahun lalu. Di kawasan ini banyak warga keturunan Bugis Makassar yang telah menetap bertahun-tahun. Nama inisiatif Fardhu Kifayah, dengan tujuan utama menggalang dana pengurusan jenazah.
Menurut salah seorang penggagas dan pengurusnya, Ade Suciawati (30), inisiatif itu lahir dikarenakan trauma-trauma kecil terhadap biaya rumah sakit yang sangat mahal. “Tidak semua orang punya kemampuan materi yang sama. Tapi bayangkan kalau baru dari keluar rumah sakit, dan misalnya terjadi ha yang terburuk, sang pasien sampai meninggal, waduh berapa lagi biaya yang ditanggung keluarga yang berduka untuk mengubur jenazah,” terang Ade.
Dari pengurus Fardhu Kifayah-lah keluarga yang berduka mendapat bantuan Rp500.000. Dana ini sendiri diperoleh dari iuran setiap kepala keluarga sebesar Rp10.000 yang dibayar mulai tanggal 1 sampai dengan 10 setiap bulannya. Namun ada beberapa di antara warga langsung membayar kewajibannya itu setahun penuh. Laporan penggunaan dana itu disampaikan langsung oleh Ketua RT kepada warga dalam rapat khusus soal Fardhu Kifayah.
Berdasarkan catatan pengurus Fardhu Kifayah, anggota perkumpulan amal jariyah ini sudah mencapai 51 kepala keluarga (KK), dengan rincian 36 KK di RT 20 dan 15 KK dari RT 19, tetangga RT yang dipisahkan oleh lorong menanjak bernama Gang Fortuna.
Menurut Ade, sejak dijalankan pertengahan tahun lalu, anggota dari Fardu Kifayah tidak dibatasi hanya keluarga RT 20. Aksi solidaritas ini juga membuka kesempatan bagi tetangga dari RT sebelah yang ingin pula berpartisipasi. Cukup dengan mengisi formulir yang telah disediakan dengan melampirkan salinan kartu keluarga dan fotocopy kartu tanda penduduk. Dana itulah nantinya dipakai membiayai penyelenggaraan jenazah seperti pelayanan mandi, kafan, salat, dan penguburan jenazah, berikut pembacaan surat Yasin dan Talkin oleh petugas yang ditunjuk. Uang sebanyak itu pula dipakai belanja perlengkapan semisal papan dan kayu nisan, kain kafan secukupnya, serta biaya penggalian liang kubur.
Ide Fardhu Kifayah awalnya terlontar dari pemuda setempat, kemudian diobrolkan dengan para tetua di komunitas tersebut, terutama Ketua RT 20, M Tiro AB. Awalnya, menurut Ade, ketika mulai digagas dan dibicarakan serius, para penggagasnya bergerilya ke rumah-rumah mengundang rapat semua warga yang ada di RT tersebut. Sayangnya, tak ada warga yang datang ketika itu. “Tapi, waktu itu, kami sepakat untuk membuat pengumuman saja dan menempel fotocopy-nya di rumah-rumah. Dan Alhamdulillah sekarang sudah sampai 50-an anggotanya,” terang Ade.
Gagasan ini sendiri sebenarnya mengadopsi Fardhiyah yang sudah dilakukan masjid terdekat kawasan itu, Masjid Ash-Shiddieq Kelurahan Gunung Sari Ulu. Namun berdasarkan lembaran yang saya peroleh, tercantum ‘Ketentuan-ketentuan lain’ seperti [a] bagi anggota fardhiyah yang tidak membayar iuran selama tiga bulan berturut-turut, maka hak-haknya gugur sebagai peserta fardhiyah, dan [b] apabila yang meninggal dunia bukan anggota fardhiyah hanya mendapat pelayanan berupa: mandi, kafan, salat, dan penguburan jenazah, baca Yasin dan Talkin.
Namun apa yang dilakukan warga RT 20 tampaknya lebih longgar. Tidak seketat ketentuan yang tercantum dalam lembaran tersebut. Setidaknya, kesan itu saya peroleh dengan melihat lembaran pengecekan iuran Fardu Kifayah yang begitu sederhana, hanya terdiri dari kolom nomor, bulan, dan kolom untuk paraf petugas pengumpul.
Kawasan yang saya maksud dalam tulisan ini mungkin bagi warga Balikpapan tidak begitu dikenal. Tapi kalau menyebut ‘Gunung Guntur’, setiap orang di Kota Minyak akan menunjukkan daerah ini di mana tepatnya. Atau setidaknya tahu atau bakal bercerita sepotong kesan mereka tentang kawasan ini. Mungkin orang-orang yang berusia 40-an tahun akan menyebut “di belakang (Bioskop) Nusantara” dan “sekitar Hotel Murni”. Orang-orang yang lahir belakangan barangkali mengarahkan Anda “di sekitar Gedung Telkom” atau “dekat Puskib”.
Daerah Gunung Guntur merupakan salah satu kawasan di Balikpapan yang dipenuhi warga dari Sulawesi Selatan, meski nama kelurahannya ‘Sumber Rejo’ sangatlah bernuansa Jawa. Selain di Gunung Guntur, konsentrasi warga Bugis terdapat pula kawasan Kampung Baru di pesisir barat kota berpenduduk sekira 500 ribu penduduk ini.
Tampaknya, penamaan gunung untuk kawasan tertentu di Balikpapan merujuk keadaan geografi kota tersebut yang berbukit. Beberapa nama ‘gunung’ di kota itu antara lain Gunung Samarinda, Gunung Bahagia, Gunung Sari, Gunung Tembak, Gunung Kawi, Gunung Dubbs, Gunung Bakaran, Gunung Bugis, Gunung Empat, Gunung Malang, Gunung Polisi, sampai Gunung Pipa.
Entah dari mana penamaan Gunung Guntur bermula. Bahkan warga setempat pun bingung bila disodori pertanyaan begini. Tapi bila ditanya mengapa sampai inisiatif seperti Fardu Kifayah muncul, setiap warga di RT itu akan menjelaskannya dengan antusias. Ya, karena duka seorang warga juga ikut dirasakan dan ditanggung seluruh warga.[]

Komentar

Postingan Populer